Dosen : Muhammad Subhi Ibrahim
Oleh : Syahar Banu
1. Kehidupan Max Scheler
Max Scheler lahir di Munchen Jerman selatan pada tanggal 22
Agustus 1874. Ibunya Yahudi dan ayahnya protestan. Kecintaannya pada ilmu
pengetahuan membuat Scheler kecil yang berusia 15 tahun rela kehilangan harta
warisan dari seorang paman Yahudi yang kaya untuk menuntut ilmu di Gereja
Katolik.
Kehidupan dan pemikiran Max Scheler tidak dapat dipisahkan
dari perjalanan hidupnya yang berliku mengenai karir, wanita dan pergulatan
intelektualnya. Walau ia kurang banyak dikenal. Pemikirannya menjadi inspirasi
bagi pemikir lain seperti Nicolai Harimann, Dietrich von Hildebrand dan Hans
reiner. Ia pernah berkata bahwa “Untuk mengembangkan segala filsafat yang ada
dalam diriku, aku seharusnya memerlukan setidaknya 7 wanita”. Kehidupannya yang
sering berkaitan dengan wanita membuat para intelektual membuat periodisasi
hidupnya dengan kehidupan percintaannya dengan wanita.
Saat belajar ilmu kedokteran di Muenchen, Ia pindah ke Berlin
dan Jena untuk belajar filsafat dan sosiologi hingga pada akhirnya di tahun
1893 Ia terpesona dengan Amelie von Dewitz yang Delapan tahun lebih tua darinya
dan telah bersuami. Scheler akhirnya berhasil menikah dengan Amelie pada tahun
1989 setelah Amelie bercerai dari suaminya. Setelah itu ia menjadi dosen di
Jena dan bertemu dengan Edmund Husserl yang merupakan bapak fenomenologis dan
menginspirasinya untuk menemukan metode fenomenologiisnya sendiri. Pernikahan
pertama Scheler dan pertemuannya dengan Husserl menandakan periode pertama
dalam filsafatnya dimulai.
Namun, karena skandal perselingkuhannya dengan seorang istri
penerbit, Ia meninggalkan Jena dan menjadi asisten dosen di Universitas
Muenchen berkat bantuan Husserl. Penyebab kepindahan lainnya adalah Amelie yang
menceritakan keburukan suaminya kemana-mana sebagai sarana balas dendam karena
Scheler telah selingkuh. Mereka bercerai secara resmi pada tahun 1912 walaupun
sebenarnya mereka telah berpisah dari tahun 1908. Sebelum resmi bercerai,
Scheler pun sudah jatuh cinta lagi dengan Marit Furtwangler yang merupakan adik
dirigen terkenal. Sayangnya, pada tahun 1910 Scheler berhenti dari universitas
Muenchen dan tidak berhak memberikan kuliah. Selanjutnya, Ia hanya memberikan
kuliah di cafe dan restoran untuk para mahasiswa yang mngagumi pemikiran
Scheler.
Periode kedua dalam Hidupnya dimulai saat Ia akhirnya menikah
dengan Marit Furtwangler dan mulai tinggal di Berlin. Ia hanya hidup dari uang
muka yang diterima dari penerbit atas penulisan bukunya. Dalam periode ini, Ia
berhasil menulis 3 buku tentang sentimen yang berjudul Das Ressentimen im Aufbau der Moralen, edisi pertama dari Wesen und Formen der Sympathie (Hakikat
dan bentuk-bentuk Simpati) dan terutama karya nya yang terkenal Der Formalismus in der Ethik die Matrealie
Wer Ethik dalam bidang etika.
Kehidupannya yang jauh dari gereja membuatnya merasa bahwa
moment perang dunia 1 pecah di tahun
1914 adalah saat yang tepat untuk kembali pada kehidupan rohani yang
telah lama ditinggalkannya. Ia mulai memberikan ceramah dan pengabdiannya
membuat ia mendapatkan kesempatan baru setelah Perang Dunia 1 berakhir. Setelah
Walikota Koln, Konrad Adenauer membuka lagi universitas Koln, Scheler diangkat
menjadi profesor di Institut Ilmu-Ilmu sosial dan mengajar etika serta teologi
Keuskupan Agung Koln.
Ia berhasil membuat Karya a.l
Die Wissensformen und die Gelllschaft (Bentuk-bentuk Pengetahuan dan
Masyarakat), Die Formen des Wissens und
der Bildung (Bentuk-bentuk Pengetahuna dan Masyarakat), Von Ewigen im Menschen (Tentang Abadi
dalam Manusia). 2 karya terakhir tersebut merupakan karya filosofis nya.
Pergolakan hidupnya dengan wanita kembali dimulai saat Ia
mulai mencintai Maria Scheu walau tetap mencintai Marit dengan pernikahan yang
bahagia. Ini disebut periodisasi ketiga dalam hidupnya. Ia terpaksa meninggalkan Marit saat Maria
mengancam akan meninggalkannya. Tidak hanya berpisah dari Marit ditahun 1924,
tapi Ia juga berpisah dari gereja tahun 1922. Dari pengalamannya itulah, Ia
mengungkapkan hal fenomenal “Wanita sempurna harus mengkombinasikan 4 sosok :
Ibu, kekasih, biarawati dan pelacur”.
Ia meningggalkan Koln dan pindah ke Frankfrut dan arus
pemikirannya berubah menjadi pantheisme. Ia berfikir bahwa ada dualisme antara
roh yang mengerti tetapi tidak berdaya dan dorongan ingstingtual buta yang
menentukan kelakuan kita. Ia meninggal pada 19 Mei 1928 karena serangan jantung
dan dmakamkan di Koln dalam sebuah upacara Katolik
2. Pemikiran Max Scheler
Seperti yang disebutkan diatas, pemikiran fenomonologis
Scheler banyak terpengaruh oleh gurunya Edmund Husserl. Menurut Husserl,
filsafat jangan bertolak dari segala macam teori, prinsip pengandaian,
keyakinan dan sebagainya. Melainkan harus memperhatikan apa yang nyata-nyata
memperlihatkan diri dalam pemikiran kita. Yang memperlihatkan diri adalah fenomen. Sang filosof senantiasa was-was
jangan sampai fenomen yang muncul menampakkan diri didistorsi oleh pikiran,
kepercayaan, prasangka dan prinsip-prinsipnya. Ia harus menghindari
generalisasi dan kesimpulan yang terlalu cepat. Yang perlu adalah mengumpulkan
semua kekhasan dan keunikan fenomen yang
dihadapi.
Dengan itu, Scheler
belajar untuk menghindari berfikir reduktif yang dengan gampang mengembalian
kenyataan yang satu pada kenyataan yang lain. Metode ini juga disebut “Dogma”
dalam filsafat bahwa intuisi harus sama dengan pengetahuan indrawi. Namun, intuisi
tidak diartikan menurut konsep apriori kita.
Scheler tidak murni mengikuti Husserl karena Ia mengembangkan
metode Fenomonologisnya sendiri. Baginya, pendekatan fenomonologis adalah
memperhatikan semua aneka sudut dan warna pada segala macam kenyataan. Metode
Schelen adalah enleben yang bisa
berarti penghayatan segar terhadap pengalaman. Kebenaran bukanlah hasil pikiran
atau pertimbangan, melainkan harus dicari dengan membuka diri. Atas dasar
keterbukaan terhadap kenyataan yang menyatakan diri itu lalu sang filosof
berefleksi dan mencoba untuk memahami lebih dalam.
Etika filsafat Scheler adalah tentang manusia, persona, agama
dan Tuhan yang berakar dalam sebuah pengalaman dasar, pengalaman akan nilai. Buku
tentang Etika nya adalah Der Formalismus
in der Ethik die Matrealie Wer Ethik (Formalisme dalam Etika dan Etika
Nilai Material. Percobaan baru Pendasaran Personalisme Etis) pada tahun 1913.
Ia adalah lawan pemikiran dari Kant dan Nietzhe.
Kant Berfikir bahwa moralitas seseorang bersifat Formalisme.
Karena bergantung pada situasi dan kondisi , tidak Mutlak. Sebuah perbuatan
baru bernilai Moral kalau tindakan itu adalah berbentuk murni karena merupakan
kewajiban. Scheler membantah hal tersebut karena menurutnya apa yang Kant
pikirkan tersebut bukanlah hakikat moralitas yang sebenarnya. Sebuah tindakan bernilai
secara moral karena merupakan kewajiban. Melainkan merupakan kewajiban karena
bernilai secara moral. Nilai mendahului kewajiban. Inti moralitas bukanlah
kesediaan untuk memenuhi kewajiban, melainkan kesediaan untuk merealisasikan
apa yang bernilai. Sehingga untuk dapat mengusahakan nilai-nilai moral, manusia
tidak perlu diperintahkan karena manusia dengan sendirinya tertarik oleh apa
yang bernilai. Nilai menjadi pusat moralitas.
Nilai itu sendiri adalah kualitas atau sifat yang membuat apa
yang bersifat bernilai jadi berniai. Nilai tidak sama dengan yang bernilai. Apa
yang bernilai menjadi wahana Nilai. Apa yang bernilai menjadi pembawa atau
wahana nilai. Apa yang bernilai adalah kenyataan dalam hidup kita. Karena
tindakan dan perbuatan itu bisa saja tidak ada.
Nilai merupakan tindakan apriori. Keberadaannya tidak
bergantung pada apakah perbuatannya ada atau tidak. Nilai kejujuran tidak
bergantung dari adanya orang jujur. Nilai itu sendiri mendahului segala
pengalaman walau suatu tindakan tersebut bernilai. Scheler menyebut etikanya
sebagai Etika Nilai Material. Jujur, vital, enak, adil, indah, kudus dan semua
nilai yang kita langsung tau “apanya”. Sedangkan kalau kewajiban akan jadi
tidak dimengerti karena kita tidak tahu apa yang wajib kita lakukan. Kant tidak
melihat bahwa Nilai mendahului segala pengalaman dan tidak tergantung dari
sebuah konteks dan bernilai apriori serta mutlak.
Pandangan Scheler juga berseberangan dengan Nietzhe yang
berpandangan relativisme pada etika. Nietzhe berfikir bahwa nilai tidak
diciptakan, melainkan ditemukan. Nilai
memiliki objektivitas yang sama dengan hukum logika. Manusia bisa saja buta
nilai atau tidak menyadari sebuah nilai, tetapi nilai itu tetap “ada”.
Scheler menilai bahwa nilai itu tidak dapat dipikirkan,
tetapi hanya dapat dirasakan. Itu merupakan pendapat Scheler yang benar-benar
baru. Filsafat barat jarang membicarakan tentang rasa. Karena biasanya akan
kalah antara pengetahuan rohani dengan pengalaman indrawi. Merasa bukan
merupakan hasil dari pengalaman Indrawi, tapi merupakan suatu yang khas
dimiliki manusia. Dengan itu Scheler membuat sumber pengetahuan yang baru
berupa apriori emosional. Objek Indrawi ditangkap , konsep dipikirkan tetapi
nilai dirasakan. Ia menilai bahwa perasaan sebagai keadaan subyektif kita
sendiri.
Max Scheler juga mengembangkan nilainya tentang persona dan
cinta. Dengan persona manusia berbeda dengan binatang karena binatang buta akan
nilai. Manusia yang juga merupakan makhluk ingstingtual akan menyadari betul
arti dari nilai dan mengetahui juga apa yang pantas diusahakan mana yang tidak.
Ia tidak mengambil sikap tentang dorongan-dorongan buta dan semakin terbuka
oleh nilai-nilai rohani. Roh membebaskan manusia dari penentuan dunia karena Ia
menghubungkan dengan alam ideal kebenaran dan nilai-nilai. Di belakang
penghayatan nilai mesti ada persona yang memungkinkan tatanan alam tentang
nilai itu yang di tingkat kerohaniawan menjamin kesatuan dunia dan membuat
mungkin bahwa persona-persona saliang memahami. Yaitu Allah.
Persona tidak dapat identik dengan sesuatu karena persona
dapat diketahui dari luar. Tetapi kita dapat masuk ke dalam hati persona itu
membuka diri dalam cinta. Itulah sebabnya hanya orang yang mencintai yang dapat
mengerti orang lain karena hanya dalam cinta masing-masing saling membuka.
Hanya orang-orang yang betul-betul mencintai kita seperti Ibu, kekasih, atau sahabat
yang betul-betul mengenali kita. Karena cinta membuka mata hati.
Bagi orang yang mencintai, alam nilai akan membuka diri dan
nilai menjadi tajam. Cinta menyatukan tindakan manusia dengan nilai-nilai.
Scheler memahami bahwa persona sebagai makhluk yang berhasrat dan mampu untuk
mencintai. Hasrat terdalam manusia adalah masuk kedalam keselarasan dengan
cinta persona asali. Yaitu Allah. Ia menolak menyatakan bahwa cinta kasih
adalah sublimasi nafsu. Cinta bukan mau merebut melainkan mau memberikan. Cinta
adalah gerakan naik dari nilai-nilai rendah ke nilai-nilai tinggi yang semakin
menyatakan diri.
Sentimen membuat kita buta terhadap tataran nilai yang
sebenarnya. Ia menganalisis bahwa sentimen sebagai peracunan dari jiwa. Apapun
yang keluar dari hati orang yang bersentimen menjadi bengkok dan negatif serta
penilaiannya akan terkena distorsi. Sentimen juga mengancam keutuhan batin
seseorang. Manusia menjadi baik apabila Ia memilih nilai yang tinggi. Namun
kita seringkali memilih nilai yang rendah. Jika kita bertindak bertentangan
dengan hakikat kita sendiri, kita akan berdosa.
Pemulihan sikap terjadi pada penyesalan. Penyesalan adalah
kekuatan yang dapat membebaskan kita dari penentuan oleh masa lampau. Ia adalah
rasa sakit atas kejahatan yang kita lakukan. Tanpa penyesalan kita telah
membuat diri kita menjadi jahat. Penyesalan merupakan kekuatan alam moralitas
yang paling revolusioner.
Scheler berpendapat bahwa nilai itu mendahului sebuah
kebenaran. Sifat-sifat yang mencerminkan keindahan dan kebenaran adalah sesuatu
yang positiif, bukan akibat dari pengalaman melainkan mendahului pengalaman.
Orang yang tidak melihatnya disebut Buta nilai. Begitupun dengan anti-nilai
yang menunjukkan diri sebagai negatif. Nilai yang muncul dalam kehidupan manusa
tanpa melalui pengalaman itu disebut apriori.
Ada 4 gugus nilai yang menjadi perhatian Scheler
1.
Nilai
yang menyangkut tentang Badani atau fisik yang menghasilkan rasa nikmat dan
sakit
2.
Nilai
yang menyangkut tentang kehidupan dan keutuhannya dan tidak berkaitan dengan
indrawi dan dirasakan juga oleh manusia dan hewan. Contohnya adalah takut dan
berani
3.
Nilai
yang menyangkut tentang nilai-nilai Ruhani, orang rela mengorbankan nilai-nilai
dimensi kehidupan. Sedangkan Nilai Rohani ada 3 Macam, Nilai estetis, Nilai
benar dan tidak benar dan nilai pengetahuan murni
4.
Nilai
tertinggi adalah nilai yang tinggi dan yang profan. Sikap yang menjawab
nilai-nilai kudus adalah “kepercayaan” dan “tidak mau percaya”. Nilai-nilai
lanjutan “yang kudus” adalah benda-benda suci dan bentuk-bentuk ibadat yang
terdapat yang terdapat dalam liturgi (Kult) dan sakramen-sakramen.
Sedangkan tinggi rendahnya nilai memiliki 5 kriteria, yaitu :
- Makin lama nilai bertahan, makin tinggi kedudukannya
- Makin tinggi nilai makin tidak dapat dibagi dan tidak perlu dibagi atau tidak habis dibagi kalau disampaikan pada orang lain
- Nilai makin tinggi Ia mendasari nilai-nilai lain dan sendiri tidak berdasarkan nilai makin tinggi kedudukannya.
- Makin dalam kepuasan yang dihasilkan oleh sebuah nilai makin tinggi kedudukanya
- Makin relatif sebuah nilai makin rendah kedudukannya, Makin mutlak makin tinggi nilainya
Selain itu Scheler juga menghayati dasar pembentukan
komunitas yang khas. Scheler membedakan sosok komunitas murni seperti komunitas keselamatan, komunitas
hukum, komunitas budaya dan komunitas hidup yang terbentuk berkat nilai yang
kudus dan rohani. Yang kedua adalah komunitas tidak murni, yaitu gugus nilai
yang dibentuk demi komunitas kepentingan dan komunitas sasaran.
Manusia mencapai hakikatnya apabila Ia mentransendensi
dirinya sendiri. Transendensi itu adalah sifat khas manusia dalam mencapai
tujuannya dalam membuka diri kepada Tuhan. Dalam keterbukaan manusia itulah ia
menghayati bahwa Tuhan juga akan membuka diri terhadap manusia. Bila manusia
beriman, maka secara hakiki Ia harus beribadat dengan agamanya.
Dalam alam semesta, ada 2 kekuatan yang berlawanan, roh dan
energi, pikiran dan naluri, keteraturan dan dinamika buta, cita-cita dan alam.
Melalui rohnya manusia terbuka pada alam kebenaran dan nilai-nilai. Tetapi apa
yang dilakukan manusia tidak ditentukan oleh kesadaran rohani melainkan oleh
nalurinya. Hanya dengan seakan-akan memanfaatkan kekuatan naluri dari dalam
manusia dapat membawa nilai-nilai kerohanian ke dalam realitas. Roh dan
dorongan ingstingtual merupakan dua sifat Yang Ilahi. Dalam perjuangan manusia
untuk memenangkan cita-cita roh terhadap dorongan insting, yang Ilahi bergulat
mencari perpaduan dua kekuatan itu yang harmonis.
3. Kritik terhadap Scheler
Dengan pendekatan Murthada Muthahhari, konsep cinta Scheler
mengalami kelemahan. Yaitu saat Scheler mengatakan bahwa benci menghalangi
realitas. Padahal cinta dan benci menurut Murthada Mutthari sama-sama memiliki
kelemahan. Yaitu tidak dapat melihat sesuatu sebagaimana adanya. Bila seseorang
mencintai, yang Ia lihat hanya keindahan. Bila seseorang membenci, yang Ia
lihat hanyalah keburukan. Dengan ini kita tidak dapat serta merta mencintai dan
menghilangkan benci atau sebaliknya. Untuk melihat sebagaimana adanya, kita
harus melepas sisi-sisi subyektif kita.
Daftar Pustaka :
Magnis-Suseno,Franz. 2000, 12 Tokoh Etika Abad ke-20,
Yogyakarta: Kanisius
http://plato.stanford.edu/entries/scheler/
Diakses tanggal 5 Maret 2012 Pukul 15.05
http://www.phenomenologyonline.com/scholars/scheler-max/
Diakses tanggal 15 Maret 2012 Pukul 15.10
0 komentar:
Posting Komentar