skip to main | skip to sidebar

Jejak Intelektual Falsafi

  • Entries (RSS)
  • Comments (RSS)
  • Home
  • About Us
  • Archives
  • Contact Us

Jumat, 21 September 2012

Di Balik Layar Film Innocence

Diposting oleh syahar banu di 13.09 Label: Dosen, Publikasi Media

Dimuat Koran Tempo, Kamis, 21 September 2012
Oleh Novriantoni Kahar*

Komentar Twitter paling mengena tentang hiruk pikuk film Innocence of Muslims adalah yang menyebutnya trailer belaka. Film sesungguhnya justru kejar tayang sejenak setelah trailer itu. Kini ia tayang di Libya, Mesir, Tunisia, Yaman, Sudan, Pakistan, Afganistan, dan bahkan Indonesia. Betapa mudah orang-orang tak bertanggungjawab mempermainkan temperamen umat Islam lewat sebuah karya yang nista! Karena itu, saya sepakat dengan Mustafa Akyol (Hurriyet, 15 September): yang diperlukan umat Islam dalam momen-momen konyol ini adalah mengontrol kemarahan (anger management) dan respons yang beradab.

Dasar-dasar respons yang beradab dalam menghadapi provokasi keagamaan sesungguhnya sangat kuat dalam tradisi Islam perdana. Dalam Quran, banyak sekali ayat yang menyarankan orang Islam untuk merespons provokasi bodoh dengan cara yang bermartabat. Untuk menyebut sebagian, salah satu ciri hamba yang dikasihi Tuhan (ibad ar-Rahman) menurut al-Quran adalah: “… jika mereka diprovokasi orang-orang dungu, mereka cukup berkata, peace!” (Qs. Al-Furqan: 63).

Rekam jejak Nabi Muhammad sendiri menunjukkan dirinya bukan sosok gampang tersinggung dan mudah terhina. Penjagaan citra (sum’ah) dan keredibilitas (mishdaqiyyah) agama lebih dipentingkan Nabi semasa hidupnya. Tatkala sahabat Umar bin Khattab mengusulkan pelenyapan Abdullah bin Ubay, tokoh bermuka-dua yang tak henti-henti memprovokasi permusuhan antar-golongan di Madinah, Nabi menolak. Beliau tak ingin dikenal sebagai sosok haus darah dan Islam justru dikenal lewat provokasi musuh ketimbang keelokan perilaku Nabi dan penganutnya. Menghadapi provokasi, Nabi memilih lapang dada tinimbang jatuh-binasa kredibilitas agama; sesuatu yang diinginkan musuh-musuhnya.

Tulisan ini tak ingin berkhutbah tentang respons yang beradab terhadap film murahan yang menghina Nabi junjungan umat Islam itu. Yang hendak ditelusuri di sini justru gejolak apa yang berada di balik layar sehingga melahirkan kekacauan, merenggut nyawa duta besar Amerika, dan puluhan orang tak tahu apa-apa.

Kebangkitan Salafisme?

Sampai kini belum jelas siapa pembunuh Christopher Stevens, Duta Besar Amerika di konsulat Amerika di Benghazi, Libya. Beberapa dugaan menunjuk Brigade Anshar al-Shariah (pasukan pembela syariat), kubu kecil Salafi-jihadi yang berada di balik aksi ini. Ini sungguh tragedi dan bukan cara berterima kasih terbaik yang diinginkan rakyat Libya kepada Amerika. Survei Gallup membuktikan, Libya kini adalah negara Arab yang paling tak bermasalah dengan Amerika. Mayoritas rakyat Libya (54%) dalam survei Maret dan April 2012 mendukung kepemimpinan Amerika untuk menuntun masa transisi demokrasi di Libya (www.gallup.com). Sentimen positif ini tak lepas dari dukungan Amerika lewat NATO bagi perjuangan rakyat Libya melawan otoritarianisme rezim Qhadafi.

“Anomali Libya” ini tak berakhir di situ saja. Ketika Tunisia, Mesir, Maroko, dan Yordania membawa kaum Islamis ke tampuk kekuasaan dalam Musim Semi Arab ini, pemilu Libya justru dimenangkan koalisi nasionalis. Libya kini sedang merambah jalan demokrasi. Hanya saja, soal keamanan belum pulih betul dan kontrol kekuasaan belum sepenuhnya di tangan pemenang pemilu. Karena itu, kevakuman ini sangat mudah diisi oleh manuver-manuver kalangan manapun, termasuk kelompok ultra-konservatif Salafi yang semakin mengemuka. Dalam beberapa bulan terakhir, aksi-aksi vigilante dan Talibanisme semakin intensif dilakukan mereka demi menguji otoritas penguasa sementara.

Inilah yang disebut para pengamat sebagai “momentum Salafisme” (the Salafi moment). Yang dimaksud momentum Salafisme di sini adalah upaya kalangan ultra-konservatif Islam untuk tampil sebagai pemain utama dalam kancah perpolitikan baru Timur Tengah setelah terbukti nothing Islamic dari Musim Semi Arab ini. Salah satu caranya adalah dengan menguji stabilitas dan menekan perpolitikan ke jalur radikalisasi.

Di Libya, kaum Salafi menekan otoritas pemerintahan sementara dengan aksi-aksi penghancuran brutal terhadap komplek-komplek perkuburan sufi yang mereka anggap tidak Islami. Di Tunisia, kaum Salafi aktif  melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat yang mereka tuding maksiat, bahkan mengutuk pengiriman atlet perempuan ke perhelatan Olimpiade. Berlarut-larutnya krisis Suriah, bagi para pengamat juga akan semakin menguatkan konsilidasi Salafi dalam mengisi kemungkinan Suriah pasca-Assad. Dunia tampak kurang waspada, kini kalangan Salafi makin menguat di berbagai belahan dunia, dari Mali ke Libanon, sejak Kashmir ke kawasan Kaukasus Utara Rusia (Foreign Policy, 12 September), bahkan melebihi pengaruh Ikhwani.

Karena itu, dalam Sheikhs and Politicians: Inside the New Egyptian Salafism (Juni 2012), Stéphane Lacroix menyebut kubu Salafi-politik yang berhasil membuat terobosan 25% dalam Pemilu di Mesir, kini aktif melakukan konsolidasi kekuasaan di kancah perpolitikan baru Timur Tengah dengan sokongan Arab Saudi. Perkembangan ini mau tak mau akan menghasilkan benturan-benturan, tidak hanya antara kaum Islamis dengan non-Islamis, tapi yang lebih sengit lagi adalah antara kaum Islamis yang lebih moderat dengan yang radikal-fundamentalistis (clash within Islamists). Lalu bagaimana menjelaskan kekacauan Innocence di Negeri Piramida?

Sebagai Pengalih

Dalam hal manipulasi isu-isu keagamaan untuk kepentingan politik, kelakuan rezim sekuler dan Islamis sesungguhnya relatif sama. Jytte Klausen dalam Egypt Fans the Flames menunjukkan, manuver rezim Ikhwani dalam kasus film Innocence kini lebih kurang sama dengan sikap rezim Mubarak terhadap kartun Denmark 6 tahun lalu. Keduanya sama-sama piawai melakukan provokasi protes keagamaan, antara lain sebagai upaya pengalihan isu (protest as distraction) dan upaya untuk mengonsolidasi kekuasaan (Foreign Affair, 13 September).

Tahun 2006, rezim Mubarak di balik layar memprovokasi protes kubu Islamis terhadap kartun surat kabar Denmark, Jyllands-Posten. Tujuan kala itu: menunjukkan kepada Amerika dan dunia bahwa marabahaya Islamisme akan mendekat di depan mata bila tekanan demokratisasi semakin meningkat. Sekalipun paling aktif melakukan protes kala itu, kubu Ikhwani sadar juga, kekacauan kartun tiada lain adalah cara rezim untuk mengalihkan perhatian dunia dari tuntutan reformasi politik Mesir sesungguhnya.

Kini setelah berkuasa, anehnya Ikhwani-lah yang paling awal menyerukan protes nasional terhadap Kedutaan Amerika di Kairo. Entah untuk tujuan apa. Namun script Mubarak kini tak mudah lagi dimainkan karena panggung telah berubah. Setelah di Kedutaan Amerika Kairo berkibar bendera al-Qaidah, Duta Besar Amerika terbunuh di Libya, dan pernyataan keras Obama bahwa Mesir bukanlah sekutu Amerika, sikap Ikhwani tampak berubah. Ditambah kecenderungan kubu Salafi untuk menarik radikalisasi ke stadium yang lebih tinggi, jelas ini bukan pertaruhan yang mudah bagi perpolitikan Ikhwani. Kaum Salafi Mesir yang tergabung dalam Koalisi Partai Cahaya, siap sedia menunjukkan bahwa mereka sangat vokal dan jauh lebih radikal dalam menyuarakan kepentingan Islam dibandingkan Ikhwani.

Kaum ultra-konservatif Salafi—sekalipun tampak tak kunjung move on ke dunia yang lebih beradab—dalam situasi-situasi tertentu mampu menunjukkan kepada dunia bahwa mereka adalah pemain politik yang piawai juga. Instabilitas dan kekacauan Timur Tengah adalah air keruh yang akan memanjangkan nafas dan menguatkan pengaruh mereka.

)*Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina


0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

Pendidikan dan Kebudayaan

Diposting oleh syahar banu di 13.01 Label: Dosen, Publikasi Media

Dimuat di Harian KOMPAS Sabtu, 07 April 2012

Oleh Mohammad Abduhzen

Kembalinya ”kebudayaan” pada Kementerian Pendidikan Nasional telah menegaskan lagi bahwa pendidikan adalah jalan utama kebudayaan. Melalui pendidikan, seseorang mengalami proses pembudayaan dan lewat pendidikan pula sebuah bangsa mewujudkan kebudayaan seperti yang diinginkannya.

Disebut kebudayaan yang diinginkan karena kebudayaan bukan sekadar koleksi artefak dan tradisi untuk dilestarikan. Lebih dari itu, kebudayaan adalah respons manusia terhadap berbagai tantangan, kemudian memberi wujud baru pada pola-pola yang ada.

Pendidikan sebagai jalan kebudayaan tidak berarti bahwa dalam kurikulum persekolahan hadir mata pelajaran kebudayaan; atau pada nama lembaga pendidikan tertentu harus tercantum kata budaya/kebudayaan. Eksistensi pendidikan dalam keseluruhannya adalah, dan harus dirancang sebagai, proses pembudayaan. Dengan demikian, pendidikan niscaya merupakan bagian dari strategi pembangunan kebudayaan bangsa.

Meski konsep kebudayaan nasional belum begitu terang, menyaksikan situasi kebangsaan kita dewasa ini dengan berbagai kecenderungan masa depan yang ada, penyelenggaraan sistem pendidikan nasional harus difungsikan pertama-tama sebagai upaya penyadaran tentang status manusia: makhluk berkebudayaan.

Sejak lama berbagai agama mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk mulia, bahkan manusia dianggap sebagai wakil/citra Tuhan di muka bumi (khalifah fil ardl). Pada diri manusia terdapat banyak potensi—di antaranya akal kreatif dan kehendak bebas (free will) yang sejatinya hanya milik Tuhan—yang memungkinkannya membentuk kebudayaan dan karena itu ia berbeda dengan makhluk yang lain.

Tidak seperti tumbuhan dan hewan, kehadiran manusia di dunia ini bukan untuk sekadar bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Manusia datang untuk mengubah lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan dan martabat dirinya. Maka, manusia pun mencipta.

Karya menentukan muruah manusia. Apakah ia berkontribusi merawat dan memuliakan kehidupan atau sebaliknya merusak dan menghancurkannya.

Apabila dia memilih peran destruktif, kemanusiaannya akan jatuh ke derajat yang lebih rendah daripada kawanan hewan karena daya-daya yang dimiliki manusia dapat melahirkan kejahatan yang bersifat kreatif.

Para pelajar perlu disadarkan bahwa menjadi manusia artinya beramal, yaitu berkarya untuk kemaslahatan bersama.

Kedua, pendidikan sebagai proses pembudayaan harus menumbuhkan identitas nasional. Substansi dari identitas nasional adalah jawaban atas pertanyaan tentang siapa kita sebagai orang dan bangsa Indonesia serta apa yang membedakannya dengan ”dia” atau ”mereka” yang lain, yang bukan Indonesia.

Makna kebangsaan Indonesia

Kebangsaan Indonesia, menurut Franz Magnis-Suseno (dalam Yudi Latif, 2011), memang bukan sesuatu yang terbentuk secara alami berdasarkan adanya satu bahasa dan satu budaya yang lalu terungkap dalam kesatuan organisatoris negara nasional. Kebangsaan Indonesia yang kita saksikan pada abad ke-21 ini adalah hasil sebuah proses nation building terus-menerus yang kalau tidak dipelihara akan pudar.

Pudarnya semangat nasionalisme sangat terasa dewasa ini, ditandai dengan semakin kaburnya identitas kebangsaan kita. Setiap mendengar kata ”Indonesia” atau mengatakan ”saya orang Indonesia”, nyaris tidak ada suasana esoteris yang muncul sebagai jati diri yang patut dibanggakan.

Terkadang melintas kenangan tentang keramahan, kesalehan, kebinekaan, kekayaan alam, Pancasila, dan heroisme, tetapi ingatan itu segera didekonstruksi oleh beragam fakta yang menegasikannya sehingga yang tersisa hanyalah kehampaan, juga keputusasaan. Kenyataan ini diperparah oleh Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) yang menyampaikan Pancasila dan UUD 1945 hanya sebatas dasar administrasi pemerintahan, bukan sebagai nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa.

Tantangan bagi dunia pendidikan adalah bagaimana menunjukkan identitas dan menumbuhkan kebanggaan nasional di tengah beragam paradoks yang ada: paradoks antara negeri kaya dan rakyat yang menderita; antara nilai-nilai ideal Pancasila dan praktik neoliberalisme yang menggurita; antara keramahan, kebinekaan dengan keberingasan, dan konflik sosial yang marak; antara kesalehan, keheroikan dengan kemunafikan, korupsi, dan keculasan para pemimpin.

Reformasi pendidikan

Dunia pendidikan kita memerlukan konsepsi baru tentang identitas nasional untuk mengisi dan mengganti makna ”Indonesia” yang kini usang. Namun, mungkinkah kita memiliki konsepsi yang lebih baik sementara kenyataan dibiarkan buruk?

Ketiga, pendidikan harus diarahkan pada pembentukan pola pikir (mindset) bangsa. Serupa dengan Malaysia dahulu, problem terpenting dan tersulit bagi kemajuan bangsa Indonesia sekarang ini adalah pola pikir. Struktur berpikir bangsa ini centang-perenang seperti tampak pada sikap menerabas, yaitu menghendaki hasil segera tanpa mengindahkan prasyarat, prosedur, dan kerja keras. Kekacauan berpikir juga tergambar dari kebijakan pemerintah yang sering kali melantur dan tak realistis.

”Modernisasi pikiran”, dengan mengubah terutama cara pandang terhadap kerja, itulah yang dilakukan oleh Mahathir Mohamad terhadap bangsanya pada awal 1970-an. Melalui kebijakan ekonomi dan pendidikan dalam gerakan ”Melayu Baru”, ia berhasil membangun mentalitas baru sehingga kinerja menjadi sebuah sistem nilai yang dianut oleh setiap anggota komunitas. Di antara buah yang penting dari perubahan tersebut adalah meningkatnya jumlah karya ilmiah para intelektual Malaysia.

Bangsa Indonesia dapat maju hanya jika kita mengubah pola pikir secara tepat. Selain perbaikan cara pandang terhadap kerja, mentalitas kita juga harus segera disembuhkan dari bilur-bilur keterjajahan. Fantasi keterjajahan telah membiasakan sikap tidak bertanggung jawab serta mendorong anak-anak negeri ini bangga menggerogoti uang negara.

Masalahnya, pendidikan yang kita harapkan dapat membentuk pola pikir merdeka justru kelanjutan dari apa yang didesain pemerintah kolonial untuk memperkukuh kesadaran kita sebagai inlander.

Kembalinya ”kebudayaan” pada Kementerian Pendidikan Nasional seyogianya menjadi momentum untuk mereformasi pendidikan kita secara total, fundamental, dan gradual sehingga benar-benar menjadi jalan lurus memperadabkan bangsa ini.

Mohammad Abduhzen,  Direktur Eksekutif Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI, Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina.



0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

PENDIDIKAN YANG MERAKYAT

Diposting oleh syahar banu di 12.58 Label: Dosen, Publikasi Media

Dimuat di Harian KOMPAS

Oleh Mohammad Abduhzen

Ki Hadjar Dewantara, selain memperkenalkan Metode Among (ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani) dalam proses pembelajaran, sangat menekankan pendidikan sebagai jalan untuk memperbaiki nasib rakyat. 

Pada Kongres I Taman Siswa di Yogyakarta,  20 Oktober 1923, Ki Hadjar Dewantara menyampaikan dua gagasan pokok sebagai bagian dari tujuh asas Taman Siswa, yaitu pendidikan berasas pada kebudayaan sendiri dan pendidikan yang merakyat. 

Pendidikan dan pengajaran, menurut Dewantara, harus mengena pada rakyat secara luas dan tidak boleh memisahkan orang-orang terpelajar dari penghidupan rakyat senyatanya. Untuk itu, pendidikan nasional mesti diselenggarakan selaras dengan kodrat bangsa. Hanya dengan cara itu ketertinggalan masyarakat pribumi dapat dihilangkan, dan kedamaian dalam kehidupan bersama dapat diwujudkan.  

Ki Hadjar Dewantara sangat kecewa menyaksikan sistem pendidikan dan cara pengajaran yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dalam artikel yang berjudul “Koerangnja dan Ketjewanja Onderwijs bagi Ra’jat Kita” pada Majalah Wasita jilid 1 No 5 edisi Februari 1929, ia mengkritik pelaksanaan pendidikan dan pengajaran pemerintah yang terlampau menekankan aspek keterampilan dan intelektualisme yang berorientasi pada kepentingan  Barat. 

Pendidikan yang demikian akan menggerus nilai-nilai spiritualitas (budaya) dan tidak akan dapat mengangkat derajat masyarakat pribumi, bahkan semakin menenggelamkannya sebagai  budak bangsa lain. Padahal, pendidikan--dalam pandangan Dewantara--seharusnya menjadi upaya pembudayaan dan jalan menuju ke penghidupan baru yang lebih sejahtera dan mandiri.

Tidak Mengenai Rakyat
Kini setelah 80-an tahun berlalu, kekecewaan Ki Hadjar Dewantara tidaklah sirna, malah menjalari batin bangsa. Pendidikan dan pengajaran, meskipun dilaksanakan oleh pemerintah kita sendiri, ternyata tidak mampu memperbaiki nasib dan martabat bangsa. 

Kenyataannya, kedamaian hidup yang didambakan oleh rakyat berkat kesejahteraan dan perlindungan oleh negara masih jauh panggang dari api. Rakyat mati konyol karena tersiksa sebagai TKI di luar negeri. Geng motor, perampokan di siang bolong, pemerkosaan dalam angkot, gangguan sempadan oleh negara jiran adalah sebagian kecil dari fakta yang menandakan daya negara dalam memberikan perlindungan terhadap segenap bangsa dan seluruh tumpah darah masih sangat lemah.   

Pendidikan dan pengajaran kita, seperti dikhawatirkan oleh Ki Hadjar Dewantara, berjalan tidak berasas pada kebutuhan sendiri sehingga tidak mampu membebaskan diri dari ketergantungannya pada pihak asing. Dewasa ini tujuh dari sembilan bahan pokok serta berbagai sumber daya alam kita diimpor dari dan dikuasai oleh bangsa lain. 

Kendati negeri ini disebut agraris -–meski dua pertiga wilayahnya berupa laut--dan memiliki sekolah menengah, fakultas/jurusan/program studi, hingga institut teknologi pertanian, pertanian tidak mengalami kemajuan secara berarti. Perekonomian bangsa Indonesia tidak bersaka guru, baik pada pertanian maupun kelautan (perairan). Sementara 60 persen rakyat masih hidup dari pertanian, yang 80 persen di antaranya miskin.

Kelautan, perikanan, dan studi tentang keduanya baru mendapatkan perhatian pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Itu pun setelah ikan, pasir, dan kekayaan perairan kita banyak dijarah.

Sekarang pendidikan pertanian tergolong bidang yang jenuh, kurang diminati karena sulit mendapatkan pekerjaan. Konon 8 dari 10 lulusan institut pertanian yang terkenal tidak bekerja pada bidang yang bersangkutan. Lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar petani menyekolahkan anaknya hingga ke level paling tinggi agar tak menjadi petani seperti orang tuanya. Apakah jadinya kelak negeri ini bila keadaan ini terus berlangsung?

Pendidikan kita sepertinya juga telah gagal membangun budaya bangsa yang merdeka dan berjiwa maju. Pertama, spirit dan pola pikir sebagian besar anak negeri ini masih melanjutkan gaya nenek moyang yang hidup dalam alam yang serba berkecukupan. Sifat serba ingin cepat, mudah, dan santai--meski melanggar aturan-- masih menjadi ciri kepribadian bangsa. Kinerja belum menjadi nilai dan budaya yang dianut oleh sebagian besar masyarakat. Sementara itu, tantangan terus berubah, bahkan semakin berat.

Kedua, perilaku irasionalitas masih sangat dominan di tengah masyarakat kita. Alam mitis dan mistis masih bersemayam kuat dan semakin disuburkan melalui berbagai program “penampakan” televisi. Emosionalisme yang ditandai oleh amuk dan keberingasan, terutama setelah reformasi, semakin  menjadi. Kini, bukan hanya pelajar terlibat tawuran, polisi dan TNI juga saling menyerang. Rakyat berdemo, menyabet apa saja; dan anggota DPR pun berkelahi.    

Ketiga, alam pikiran bangsa ini belum pulih dari memar keterjajahan sehingga penampilan para pemimpin dan pejabat kita persis perilaku para menir dan amtenar kolonial: menindas dan korup. Di sisi lain, mentalitas kita menunjukkan sindrom minder yang akut, terutama terhadap Barat, sehingga sering kali mencari berbagai upaya penguatan semu.

Kelas Dunia
Di tengah kegalauan bangsa ini, dunia pendidikan kita tiba-tiba seperti mengigau tentang “kelas dunia” yang tidak jelas maksudnya: World class university (WCU) ataupun (rintisan) Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).

Gagasan “kelas dunia,” disadari ataupun tidak, muncul dari naluri dan kerangka berpikir Darwinisme Sosial yang melihat setiap perkembangan selalu dalam relasi konkurensi yang harus dimenangi. 
Kosakata persaingan atau kompetisi kemudian menjadi visi Kemdikbud 2025. Visi komersial ini menuntun segenap upaya pendidikan kita untuk melihat keluar, mengacu pada dan menggunakan standar-standar (yang dikira) internasional, misalnya negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Orientasi berpikir demikian membuat jalannya pendidikan tidak hanya mengabaikan nilai-nilai dan kebutuhan riil kita atau “tidak selaras dengan kodrat bangsa” menurut ungkapan Ki Hadjar Dewantara, tetapi juga menjadi diskriminatif. Jika dahulu anak demang, pesirah, dan keluarga bangsawan serta orang kaya yang dapat menikmati pendidikan yang baik, sekarang pun serupa pula adanya.   

Ketidakselarasan dengan kodrat bangsa dan diskriminatif telah membuat para tokoh, seperti Willem Iskandar di Tapanuli Selatan, Mohammad Syafei di Sumatera Barat, dan Ki Hadjar Dewantara di Jawa berjuang agar pengajaran dan pendidikan berlangsung sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan bangsa serta dapat diperoleh rakyat luas. Mereka paham, jika pendidikan yang baik tidak didapatkan oleh sebagian besar rakyat, maka  bangsa ini akan terus melarat.
Di Podium Presiden AS
Dirgahayu pendidikan Indonesia!

Mohammad Abduhzen,  Direktur Eksekutif Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI, Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina



0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

Korporatisasi Pendidikan

Diposting oleh syahar banu di 12.51 Label: Dosen, Publikasi Media

Dimuat di Kompas Kamis, 30 Agustus 2012

Oleh Mohammad Abduhzen

Di tengah budaya korup sekarang, lembaga persekolahan tak sepenuhnya lagi menjadi institusi terpuji, tempat mengajarkan kearifan dan membentuk watak mulia. Lingkungan sekolah, terlebih pendidikan tinggi, kini menyerupai korporasi di mana berbagai transaksi—juga korupsi—terjadi.

Kasus korupsi pengadaan sarana dan prasarana yang melibatkan 16 perguruan tinggi negeri (PTN), beragamnya jalur masuk PTN, plagiarisme, kecurangan ujian nasional (UN) adalah gambaran iklim buruk yang berkembang dalam pendidikan kita. Juga maraknya penyalahgunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan operasional pendidikan (BOP), dan block grant rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), serta berbagai kasus pungutan di banyak sekolah.

Spirit korporatisasi dan korupsi di dunia pendidikan mengalami akselerasi dan pengukuhan lewat pilar privatisasi dan kebijakan UN.

Tiga pilar privatisasi
Undang-Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memuat tiga ketentuan penyangga privatisasi institusi pendidikan. Pertama, pendanaan menjadi tanggung jawab masyarakat, di samping pemerintah (Pasal 46). Ini jadi dasar pembenaran bagi anggaran pendidikan yang senantiasa tak mencukupi meski besarannya melampaui angka 20 persen dari APBN. Logika pemerintah, dirinya bertanggung jawab hanya sebagian atas pendanaan, sementara kekurangannya adalah bagian/tanggungan masyarakat.

Kemudian, pemerintah memosisikan dirinya sebagai donatur atau fasilitator pendidikan. Alhasil, muncullah beragam istilah ”bantuan”, seperti BOS, BOP, hibah (block grant), ataupun dalam bentuk beragam jenis beasiswa.

Pola bantuan seperti ini membingungkan karena—menurut Pasal 31 Ayat 3 UUD 1945—pemerintah adalah pihak yang mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Pemerintah seharusnya jadi tuan rumah pendidikan, bukan sekadar donatur atau fasilitator.

Kedua, pendidikan dikelola dengan manajemen berbasis sekolah atau MBS (Pasal 51) dan otonomi perguruan tinggi (Pasal 50). Melalui model ini, pemerintah melepas tanggung jawab dan memberikan otoritasnya kepada setiap lembaga pendidikan untuk menggali dana masyarakat secara mandiri.

Ketiga, penyelenggara dan/ atau satuan pendidikan harus berbentuk badan hukum pendidikan/BHP (Pasal 53 Ayat 1). Badan ini berprinsip nirlaba, tetapi praktiknya BHP berfungsi sebagai handelar (baca: pedagang) korporasi yang boleh mewadahi beberapa unit usaha profitabel. Meskipun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan pemerintah tak berkeinginan memprivatisasi pendidikan (Kompas.com, 27 Maret 2012), tetapi ide utama yang dikembangkan dalam UU BHP yang kini bermetamorfosis menjadi UU Pendidikan Tinggi ialah korporatisasi dan privatisasi lembaga pendidikan.

Korporatisasi dan privatisasi memang tidak dimaksudkan untuk mengalihkan kepemilikan sekolah dan perguruan tinggi (negeri) kepada perseorangan atau swasta. Namun, secara gradual akan mengeliminasi peran pemerintah dalam pembiayaan dengan mengidealkan sekolah dan perguruan tinggi mandiri.

Apabila terus dikembangkan, gagasan ini akan berdampak: pertama, tanggungan biaya masyarakat terus meningkat. Para pengelola pendidikan yang sedianya guru dan dosen bukanlah pebisnis andal. Kemampuan mereka mengoleksi dana terbatas dari orangtua murid/mahasiswa, paling jauh menyewakan aset. Adapun untuk transaksi besar—pada kenyataannya—mereka hanya diperalat oleh para pejabat, pebisnis, atau politikus.

Kedua, mutu pendidikan akan merosot karena iklim akademis tergerus bisnis. Kampus dan pengelolanya akan disibukkan oleh berbagai urusan niaga, yang tentunya lebih mengasyikkan, sehingga peningkatan kualitas terabaikan. Situasi itu kini mulai dirasakan bukan saja dengan hadirnya kios, kafe, dan mal di dalam kampus, melainkan juga berkembangnya logika dan kosakata dagang, seperti daya saing, standardisasi, sertifikasi ISO, kualitas tergantung harga, dan lain sebagainya.

Ketiga, roh pendidikan akan pudar. Interaksi pembelajaran sebagai proses humanisasi— mencerdaskan dan membudayakan—berubah menjadi relasi-relasi transaksional. Di sini, murid tak lebih dari onggokan komoditas yang dilabeli nilai seperti kualitas satu, produk lokal, atau kelas internasional. Sementara para pendidik yang dinobatkan sebagai profesional merasa sah menukarkan tenaga dan pikirannya dengan sejumlah bayaran. Maka, pendidikan pun menjadi penuh pamrih dan relevansinya dengan persoalan bangsa semakin kabur.

Keempat, korupsi akan tumbuh subur. Orientasi pendidikan menjadi materialistis, sementara pemerintah dan masyarakat yang menyubordinasikannya secara sistemis telah korup. Alhasil, ide-ide koruptif dengan mudah mengontaminasi lingkungan pendidikan.
UN, afirmasi korupsi

Kontaminasi koruptif dalam lingkungan pendidikan diperluas melalui UN. Kebijakan UN tak boleh dianggap sepele. UU bukan sekadar menyimpang dari perundang-undangan dan melanggar hak anak menurut putusan pengadilan, juga bukan hanya melanggar prinsip-prinsip pedagogi. Lebih dari semua itu, UN adalah makar melalui demoralisasi bangsa.

Konspirasi massal guru dan murid melakukan kecurangan berulang-ulang telah meruntuhkan makna dan sendi-sendi utama pendidikan. Nasihat kejujuran dan sportivitas dalam pembelajaran menjadi absurd. Melalui UN, bibit korupsi yang bertaburan di pemerintah dan masyarakat ditanam dan diteguhkan secara efektif ke dalam jiwa anak di seantero negeri. Tak terbayangkan seperti apa karakter bangsa ini di masa depan.

Korporatisasi dan korupsi merupakan sandyakala di atas sekolah kita. Oleh sebab itu, pendidikan kita memerlukan perubahan besar dan mendasar.

Mohammad Abduhzen Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI. Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina


0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

Sabtu, 19 Mei 2012

ARTHUR SCHOPENHAUER : BELAS KASIH DAN PENYANGKALAN DIRI

Diposting oleh syahar banu di 08.19 Label: Etika

                                                                                       Dosen : Muhammad Subhi Ibrahim                                                                                                                                                                 
                                              Pemakalah : Fitriyani

Arthur Schopenhauer lahir di Danzig pada 1788 dan meninggal di Frankfurt pada 1860. Dia merupakan salah satu filosof besar Jerman pada masanya, filsafat etikanya banyak mempengaruhi pemikiran Nietzsche dan Max Scheler.

Schopenhauer membedakan antara dunia numenal dan dunia fenomenal. Dunia Fenomenal adalah dunia pengalaman kita sehari-hari, yakni segala hiruk pikuk dan gerak gerik yang terjadi dalam kehidupan. Bagi Schopenhauer, semua manusia didunia ini selalu memperturutkan hawa nafsunya, dan tidak pernah puas dengan apa yang telah ia dapatkan sehingga mengejar sesuatu yang lain yang belum ia miliki. Maka kebahagiaan sejati tidak pernah diperoleh, gerak kehidupan ini menjadi percuma. Schopenhauer menarik kesimpulan bahwa hidup adalah penderitaan.

Schopenhauer menyebut dunia numenal sebagai kehendak, kehendak yang melatarbelakangi semua gerak gerik kehidupan manusia. Segala keanekaan di alam fenomenal secara numenal adalah sama. Bagi Schopenhauer, hidup adalah sumber penderitaan dimana kita menjadi budak kehendak numenal yang membuat kita terus mengejar sasaran-sasaran individual. Bila kita tidak mengejar sasaran-sasaran individual lagi, maka penderitaan kita pun akan terhenti.

Ada dua istilah yang dikemukakan oleh Schopenhauer. Pertama adalah Principium Individuationis, Prinsip Individuasi yang membelenggu kita sehingga memutlakkan eksistensi kita.Agar bebas dari penderitaan, kita harus menembus Prinsip Individuasi tersebut. (das principium individuationis durchschauen).

Istilah kedua adalah selubung sang maya,mengikuti filsafat klasik india,selubung sang maya disini ialah dewi ilusi. Prinsip metafisik yang ,menciptakan dunia indrawai yang hanya semu itu. Dengan istilah selubung sang maya, Schopenhauer mau mengatakan bahwa mata budi kita tertutup oleh ilusi dan bahwa individualitas kita sesuatu yang mutlak.

Melalui etikanya, Schopenhauer mau menunjuk jalan pembebasan dan penebusan diri dari penderitaan, ia menjelaskan bagaimana kita bisa menembus prinsip individuasi dan menyingkap selubung sang maya.
Schopenhauer menguraikan tiga jalan untuk membebaskan diri dari prinsip individuasi, yakni sebagai berikut:

  • 1)      Kontemplasi Estetik
  • Dalam pesona perasaan estetik terutama musik, kita terangkat dari individualitas kita.
  • 2)      Kebaikan Hati dan Sikap Berbelas Kasihan
  • Kita menyadari kita sama dengan seluruh realitas yang lain, maka kita mencintainya dan berbelaskasihan padanya. Berpartisipasi dalam penderitaan mahluk lain.
  • 3)      Penyangkalan Diri
  • Dengan menyangkal segala nafsu dan dorongan indrawi, kita melepaskan keterikatan pada hidup individual kita, dan karena hidup adalah penderitaan, maka penyangkalan diri membebaskan kita dari penderitaan.
Etika Schopenhauer ini sangat dipengaruhi oleh jalan sang Buddha yang menganjurkan manusia untuk melepaskan nafsu menghendaki karena kehendak adalah sumber penderitaan.


Menurut Schopenhauer, moralitas agama yang berargumentasi terhadap pahala dan ganjaran di surga tak ubahnya seorang yang menanamkan modal di sebuah perusahaan dengan harapan akan menerima dalam jumlah yang lebih besar. Moralitas religius yang melirik ganjaran surgawi, hanya mengalihkan egoisme duniawi ke tingkat adiduniawi saja.

Moralitas yang sebenarnya, bukan dibangun melalui pengetahuan konseptual, tetapi melalui pengertian intuitif. Yakni, kesadaran mendalam bahwa diriku secara hakiki sama dengan diri orang lain, dan diri kita tidaklah mutlak. Semakin seseorang menyadari kesamaan hakikinya dengan orang lain, maka ia semakin menembus prinsip individuasi dan menyingkap selubung sang maya.

Sikap-sikap moral yang memperlihatkan pengertian intuitif itu berkembang melalui tiga tahap. Dari keadilan melalui kebaikan hati sampai ke perasaan belas kasih yang merupakan kesempurnaan agape, cinta tanpa pamrih.     

Sikap adil adalah langkah pertama menuju kebaikan hati adalah penyangkalan terhadap kejahatan. Inti sikap jahat menurut Schopenhauer adalah menomorsatukan keinginannya sendiri dan demi kehendak itu ia rela mengorbankan orang lain. Sedangkan bersikap adil berarti tidak memaksakan kehendaknya sendiri bila hal itu merugikan orang lain. Adil berarti menghormati hak orang lian dan memperlakukannya sama dengan diri sendiri bukan akrena takut pada hukum negara melainkan karena keyakinan moral.

Orang yang baik hati, tidak mendahulukan kepentingannya sendiri terhadap hak orang lain. Ia memahami secara intuitif bahwa orang lain adalah sama dengan dirinya. Oleh karena itu, ia langsung terdorong untuk berbuat baik terhadap orang lain dan tidak membiarkannya menderita seperti ia bersikap pada dirinya sendiri. Konsep menyadari bahwa “engkau adalah saya!” merujuk pada “tat twam asi!”  dalam kitab Veda, yang membuat kita mencintai orang lain seperti diri sendiri. Kebaikan hati terpancar dari ketentraman hati, dimana kebaikan hati ini lebih relevan dengan kenyataan numenal dibandingkan saat kita masih terbelenggu dengan cinta diri dan eros, cinta yang mau memiliki.

Puncak dari kebaikan hati adalah sikap berbelas kasih. Orang yang berbelas kasih tahu bahwa hidup adalah penderitaan dan ia takkan bisa lari darinya, maka ia akan mengurangi penderitaan sesamanya dimanapun ia temukan.

Sikap-sikap moralitas seperti yang telah di singgung diatas merupakan tahapan dalam perkembangan agape, cinta tanpa pamrih yang juga membebaskan diri dari sikap eros,cinta diri yang mau memiliki. Pokok bahasan agape adalah sikap terhadap orang lain, Shcopenhauer juga mengungkapkan sebuah sikap terhadap diri sendiri yang merupakan padanan dari agape. Yakni, penyangkalan diri. Orang yang sadar bahwa asal dari semua penderitaannya adalah pemutlakan diri yang tidak tepat, akan berbalik menyangkal dorongan emosinya sendiri dan memilih menolak untuk memenuhinya. Dengan cara ini ia membebaskan diri dari keterikatannya pada diri sendiri dan kehidupannya sehingga bebas dari penderitaannya dan semakin tentram hatinya. Penyangkalan diri ini adalah antisipasi kematian yang apabila muncul akan disambut gembira sebagai penebusan definitif. 
0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

Selasa, 15 Mei 2012

Max Scheler : Wanita, Fenomonologi dan Cinta

Diposting oleh syahar banu di 02.54 Label: Etika

Dosen : Muhammad Subhi Ibrahim
Oleh : Syahar Banu
1.      Kehidupan Max Scheler

Max Scheler lahir di Munchen Jerman selatan pada tanggal 22 Agustus 1874. Ibunya Yahudi dan ayahnya protestan. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan membuat Scheler kecil yang berusia 15 tahun rela kehilangan harta warisan dari seorang paman Yahudi yang kaya untuk menuntut ilmu di Gereja Katolik.

Kehidupan dan pemikiran Max Scheler tidak dapat dipisahkan dari perjalanan hidupnya yang berliku mengenai karir, wanita dan pergulatan intelektualnya. Walau ia kurang banyak dikenal. Pemikirannya menjadi inspirasi bagi pemikir lain seperti Nicolai Harimann, Dietrich von Hildebrand dan Hans reiner. Ia pernah berkata bahwa “Untuk mengembangkan segala filsafat yang ada dalam diriku, aku seharusnya memerlukan setidaknya 7 wanita”. Kehidupannya yang sering berkaitan dengan wanita membuat para intelektual membuat periodisasi hidupnya dengan kehidupan percintaannya dengan wanita.

Saat belajar ilmu kedokteran di Muenchen, Ia pindah ke Berlin dan Jena untuk belajar filsafat dan sosiologi hingga pada akhirnya di tahun 1893 Ia terpesona dengan Amelie von Dewitz yang Delapan tahun lebih tua darinya dan telah bersuami. Scheler akhirnya berhasil menikah dengan Amelie pada tahun 1989 setelah Amelie bercerai dari suaminya. Setelah itu ia menjadi dosen di Jena dan bertemu dengan Edmund Husserl yang merupakan bapak fenomenologis dan menginspirasinya untuk menemukan metode fenomenologiisnya sendiri. Pernikahan pertama Scheler dan pertemuannya dengan Husserl menandakan periode pertama dalam filsafatnya dimulai.

Namun, karena skandal perselingkuhannya dengan seorang istri penerbit, Ia meninggalkan Jena dan menjadi asisten dosen di Universitas Muenchen berkat bantuan Husserl. Penyebab kepindahan lainnya adalah Amelie yang menceritakan keburukan suaminya kemana-mana sebagai sarana balas dendam karena Scheler telah selingkuh. Mereka bercerai secara resmi pada tahun 1912 walaupun sebenarnya mereka telah berpisah dari tahun 1908. Sebelum resmi bercerai, Scheler pun sudah jatuh cinta lagi dengan Marit Furtwangler yang merupakan adik dirigen terkenal. Sayangnya, pada tahun 1910 Scheler berhenti dari universitas Muenchen dan tidak berhak memberikan kuliah. Selanjutnya, Ia hanya memberikan kuliah di cafe dan restoran untuk para mahasiswa yang mngagumi pemikiran Scheler.

Periode kedua dalam Hidupnya dimulai saat Ia akhirnya menikah dengan Marit Furtwangler dan mulai tinggal di Berlin. Ia hanya hidup dari uang muka yang diterima dari penerbit atas penulisan bukunya. Dalam periode ini, Ia berhasil menulis 3 buku tentang sentimen yang berjudul Das Ressentimen im Aufbau der Moralen, edisi pertama dari Wesen und Formen der Sympathie (Hakikat dan bentuk-bentuk Simpati) dan terutama karya nya yang terkenal Der Formalismus in der Ethik die Matrealie Wer Ethik dalam bidang etika.

Kehidupannya yang jauh dari gereja membuatnya merasa bahwa moment perang dunia 1 pecah di tahun  1914 adalah saat yang tepat untuk kembali pada kehidupan rohani yang telah lama ditinggalkannya. Ia mulai memberikan ceramah dan pengabdiannya membuat ia mendapatkan kesempatan baru setelah Perang Dunia 1 berakhir. Setelah Walikota Koln, Konrad Adenauer membuka lagi universitas Koln, Scheler diangkat menjadi profesor di Institut Ilmu-Ilmu sosial dan mengajar etika serta teologi Keuskupan Agung Koln.

Ia berhasil membuat Karya a.l Die Wissensformen und die Gelllschaft (Bentuk-bentuk Pengetahuan dan Masyarakat), Die Formen des Wissens und der Bildung (Bentuk-bentuk Pengetahuna dan Masyarakat), Von Ewigen im Menschen (Tentang Abadi dalam Manusia). 2 karya terakhir tersebut merupakan karya filosofis nya.

Pergolakan hidupnya dengan wanita kembali dimulai saat Ia mulai mencintai Maria Scheu walau tetap mencintai Marit dengan pernikahan yang bahagia. Ini disebut periodisasi ketiga dalam hidupnya.  Ia terpaksa meninggalkan Marit saat Maria mengancam akan meninggalkannya. Tidak hanya berpisah dari Marit ditahun 1924, tapi Ia juga berpisah dari gereja tahun 1922. Dari pengalamannya itulah, Ia mengungkapkan hal fenomenal “Wanita sempurna harus mengkombinasikan 4 sosok : Ibu, kekasih, biarawati dan pelacur”.

Ia meningggalkan Koln dan pindah ke Frankfrut dan arus pemikirannya berubah menjadi pantheisme. Ia berfikir bahwa ada dualisme antara roh yang mengerti tetapi tidak berdaya dan dorongan ingstingtual buta yang menentukan kelakuan kita. Ia meninggal pada 19 Mei 1928 karena serangan jantung dan dmakamkan di Koln dalam sebuah upacara Katolik

2.      Pemikiran Max Scheler

Seperti yang disebutkan diatas, pemikiran fenomonologis Scheler banyak terpengaruh oleh gurunya Edmund Husserl. Menurut Husserl, filsafat jangan bertolak dari segala macam teori, prinsip pengandaian, keyakinan dan sebagainya. Melainkan harus memperhatikan apa yang nyata-nyata memperlihatkan diri dalam pemikiran kita. Yang memperlihatkan diri adalah fenomen. Sang filosof senantiasa was-was jangan sampai fenomen yang muncul menampakkan diri didistorsi oleh pikiran, kepercayaan, prasangka dan prinsip-prinsipnya. Ia harus menghindari generalisasi dan kesimpulan yang terlalu cepat. Yang perlu adalah mengumpulkan semua kekhasan dan keunikan fenomen yang dihadapi.

Dengan itu, Scheler belajar untuk menghindari berfikir reduktif yang dengan gampang mengembalian kenyataan yang satu pada kenyataan yang lain. Metode ini juga disebut “Dogma” dalam filsafat bahwa intuisi harus sama dengan pengetahuan indrawi. Namun, intuisi tidak diartikan menurut konsep apriori kita.

Scheler tidak murni mengikuti Husserl karena Ia mengembangkan metode Fenomonologisnya sendiri. Baginya, pendekatan fenomonologis adalah memperhatikan semua aneka sudut dan warna pada segala macam kenyataan. Metode Schelen adalah enleben yang bisa berarti penghayatan segar terhadap pengalaman. Kebenaran bukanlah hasil pikiran atau pertimbangan, melainkan harus dicari dengan membuka diri. Atas dasar keterbukaan terhadap kenyataan yang menyatakan diri itu lalu sang filosof berefleksi dan mencoba untuk memahami lebih dalam.

Etika filsafat Scheler adalah tentang manusia, persona, agama dan Tuhan yang berakar dalam sebuah pengalaman dasar, pengalaman akan nilai. Buku tentang Etika nya adalah Der Formalismus in der Ethik die Matrealie Wer Ethik (Formalisme dalam Etika dan Etika Nilai Material. Percobaan baru Pendasaran Personalisme Etis) pada tahun 1913. Ia adalah lawan pemikiran dari Kant dan Nietzhe.

Kant Berfikir bahwa moralitas seseorang bersifat Formalisme. Karena bergantung pada situasi dan kondisi , tidak Mutlak. Sebuah perbuatan baru bernilai Moral kalau tindakan itu adalah berbentuk murni karena merupakan kewajiban. Scheler membantah hal tersebut karena menurutnya apa yang Kant pikirkan tersebut bukanlah hakikat moralitas yang sebenarnya. Sebuah tindakan bernilai secara moral karena merupakan kewajiban. Melainkan merupakan kewajiban karena bernilai secara moral. Nilai mendahului kewajiban. Inti moralitas bukanlah kesediaan untuk memenuhi kewajiban, melainkan kesediaan untuk merealisasikan apa yang bernilai. Sehingga untuk dapat mengusahakan nilai-nilai moral, manusia tidak perlu diperintahkan karena manusia dengan sendirinya tertarik oleh apa yang bernilai. Nilai menjadi pusat moralitas.

Nilai itu sendiri adalah kualitas atau sifat yang membuat apa yang bersifat bernilai jadi berniai. Nilai tidak sama dengan yang bernilai. Apa yang bernilai menjadi wahana Nilai. Apa yang bernilai menjadi pembawa atau wahana nilai. Apa yang bernilai adalah kenyataan dalam hidup kita. Karena tindakan dan perbuatan itu bisa saja tidak ada.

Nilai merupakan tindakan apriori. Keberadaannya tidak bergantung pada apakah perbuatannya ada atau tidak. Nilai kejujuran tidak bergantung dari adanya orang jujur. Nilai itu sendiri mendahului segala pengalaman walau suatu tindakan tersebut bernilai. Scheler menyebut etikanya sebagai Etika Nilai Material. Jujur, vital, enak, adil, indah, kudus dan semua nilai yang kita langsung tau “apanya”. Sedangkan kalau kewajiban akan jadi tidak dimengerti karena kita tidak tahu apa yang wajib kita lakukan. Kant tidak melihat bahwa Nilai mendahului segala pengalaman dan tidak tergantung dari sebuah konteks dan bernilai apriori serta mutlak.

Pandangan Scheler juga berseberangan dengan Nietzhe yang berpandangan relativisme pada etika. Nietzhe berfikir bahwa nilai tidak diciptakan, melainkan ditemukan.  Nilai memiliki objektivitas yang sama dengan hukum logika. Manusia bisa saja buta nilai atau tidak menyadari sebuah nilai, tetapi nilai itu tetap “ada”.
Scheler menilai bahwa nilai itu tidak dapat dipikirkan, tetapi hanya dapat dirasakan. Itu merupakan pendapat Scheler yang benar-benar baru. Filsafat barat jarang membicarakan tentang rasa. Karena biasanya akan kalah antara pengetahuan rohani dengan pengalaman indrawi. Merasa bukan merupakan hasil dari pengalaman Indrawi, tapi merupakan suatu yang khas dimiliki manusia. Dengan itu Scheler membuat sumber pengetahuan yang baru berupa apriori emosional. Objek Indrawi ditangkap , konsep dipikirkan tetapi nilai dirasakan. Ia menilai bahwa perasaan sebagai keadaan subyektif kita sendiri.

Max Scheler juga mengembangkan nilainya tentang persona dan cinta. Dengan persona manusia berbeda dengan binatang karena binatang buta akan nilai. Manusia yang juga merupakan makhluk ingstingtual akan menyadari betul arti dari nilai dan mengetahui juga apa yang pantas diusahakan mana yang tidak. Ia tidak mengambil sikap tentang dorongan-dorongan buta dan semakin terbuka oleh nilai-nilai rohani. Roh membebaskan manusia dari penentuan dunia karena Ia menghubungkan dengan alam ideal kebenaran dan nilai-nilai. Di belakang penghayatan nilai mesti ada persona yang memungkinkan tatanan alam tentang nilai itu yang di tingkat kerohaniawan menjamin kesatuan dunia dan membuat mungkin bahwa persona-persona saliang memahami. Yaitu Allah.

Persona tidak dapat identik dengan sesuatu karena persona dapat diketahui dari luar. Tetapi kita dapat masuk ke dalam hati persona itu membuka diri dalam cinta. Itulah sebabnya hanya orang yang mencintai yang dapat mengerti orang lain karena hanya dalam cinta masing-masing saling membuka. Hanya orang-orang yang betul-betul mencintai kita seperti Ibu, kekasih, atau sahabat yang betul-betul mengenali kita. Karena cinta membuka mata hati.

Bagi orang yang mencintai, alam nilai akan membuka diri dan nilai menjadi tajam. Cinta menyatukan tindakan manusia dengan nilai-nilai. Scheler memahami bahwa persona sebagai makhluk yang berhasrat dan mampu untuk mencintai. Hasrat terdalam manusia adalah masuk kedalam keselarasan dengan cinta persona asali. Yaitu Allah. Ia menolak menyatakan bahwa cinta kasih adalah sublimasi nafsu. Cinta bukan mau merebut melainkan mau memberikan. Cinta adalah gerakan naik dari nilai-nilai rendah ke nilai-nilai tinggi yang semakin menyatakan diri.

Sentimen membuat kita buta terhadap tataran nilai yang sebenarnya. Ia menganalisis bahwa sentimen sebagai peracunan dari jiwa. Apapun yang keluar dari hati orang yang bersentimen menjadi bengkok dan negatif serta penilaiannya akan terkena distorsi. Sentimen juga mengancam keutuhan batin seseorang. Manusia menjadi baik apabila Ia memilih nilai yang tinggi. Namun kita seringkali memilih nilai yang rendah. Jika kita bertindak bertentangan dengan hakikat kita sendiri, kita akan berdosa.

Pemulihan sikap terjadi pada penyesalan. Penyesalan adalah kekuatan yang dapat membebaskan kita dari penentuan oleh masa lampau. Ia adalah rasa sakit atas kejahatan yang kita lakukan. Tanpa penyesalan kita telah membuat diri kita menjadi jahat. Penyesalan merupakan kekuatan alam moralitas yang paling revolusioner.

Scheler berpendapat bahwa nilai itu mendahului sebuah kebenaran. Sifat-sifat yang mencerminkan keindahan dan kebenaran adalah sesuatu yang positiif, bukan akibat dari pengalaman melainkan mendahului pengalaman. Orang yang tidak melihatnya disebut Buta nilai. Begitupun dengan anti-nilai yang menunjukkan diri sebagai negatif. Nilai yang muncul dalam kehidupan manusa tanpa melalui pengalaman itu disebut apriori.

Ada 4 gugus nilai yang menjadi perhatian Scheler
1.      Nilai yang menyangkut tentang Badani atau fisik yang menghasilkan rasa nikmat dan sakit
2.      Nilai yang menyangkut tentang kehidupan dan keutuhannya dan tidak berkaitan dengan indrawi dan dirasakan juga oleh manusia dan hewan. Contohnya adalah takut dan berani
3.      Nilai yang menyangkut tentang nilai-nilai Ruhani, orang rela mengorbankan nilai-nilai dimensi kehidupan. Sedangkan Nilai Rohani ada 3 Macam, Nilai estetis, Nilai benar dan tidak benar dan nilai pengetahuan murni
4.      Nilai tertinggi adalah nilai yang tinggi dan yang profan. Sikap yang menjawab nilai-nilai kudus adalah “kepercayaan” dan “tidak mau percaya”. Nilai-nilai lanjutan “yang kudus” adalah benda-benda suci dan bentuk-bentuk ibadat yang terdapat yang terdapat dalam liturgi (Kult) dan sakramen-sakramen.
Sedangkan tinggi rendahnya nilai memiliki 5 kriteria, yaitu :

  • Makin lama nilai bertahan, makin tinggi kedudukannya
  • Makin tinggi nilai makin tidak dapat dibagi dan tidak perlu dibagi atau tidak habis dibagi kalau disampaikan pada orang lain
  • Nilai makin tinggi Ia mendasari nilai-nilai lain dan sendiri tidak berdasarkan nilai makin tinggi kedudukannya.
  • Makin dalam kepuasan yang dihasilkan oleh sebuah nilai makin tinggi kedudukanya
  • Makin relatif sebuah nilai makin rendah kedudukannya, Makin mutlak makin tinggi nilainya
Sedangkan sosok nilai persona telah menghasilkan lima sosok, yaitu Orang Kudus, jeni, pahlawan, tokoh pemikir dan seniman.

Selain itu Scheler juga menghayati dasar pembentukan komunitas yang khas. Scheler membedakan sosok komunitas murni  seperti komunitas keselamatan, komunitas hukum, komunitas budaya dan komunitas hidup yang terbentuk berkat nilai yang kudus dan rohani. Yang kedua adalah komunitas tidak murni, yaitu gugus nilai yang dibentuk demi komunitas kepentingan dan komunitas sasaran.

Manusia mencapai hakikatnya apabila Ia mentransendensi dirinya sendiri. Transendensi itu adalah sifat khas manusia dalam mencapai tujuannya dalam membuka diri kepada Tuhan. Dalam keterbukaan manusia itulah ia menghayati bahwa Tuhan juga akan membuka diri terhadap manusia. Bila manusia beriman, maka secara hakiki Ia harus beribadat dengan agamanya.

Dalam alam semesta, ada 2 kekuatan yang berlawanan, roh dan energi, pikiran dan naluri, keteraturan dan dinamika buta, cita-cita dan alam. Melalui rohnya manusia terbuka pada alam kebenaran dan nilai-nilai. Tetapi apa yang dilakukan manusia tidak ditentukan oleh kesadaran rohani melainkan oleh nalurinya. Hanya dengan seakan-akan memanfaatkan kekuatan naluri dari dalam manusia dapat membawa nilai-nilai kerohanian ke dalam realitas. Roh dan dorongan ingstingtual merupakan dua sifat Yang Ilahi. Dalam perjuangan manusia untuk memenangkan cita-cita roh terhadap dorongan insting, yang Ilahi bergulat mencari perpaduan dua kekuatan itu yang harmonis.

3.      Kritik terhadap Scheler

Dengan pendekatan Murthada Muthahhari, konsep cinta Scheler mengalami kelemahan. Yaitu saat Scheler mengatakan bahwa benci menghalangi realitas. Padahal cinta dan benci menurut Murthada Mutthari sama-sama memiliki kelemahan. Yaitu tidak dapat melihat sesuatu sebagaimana adanya. Bila seseorang mencintai, yang Ia lihat hanya keindahan. Bila seseorang membenci, yang Ia lihat hanyalah keburukan. Dengan ini kita tidak dapat serta merta mencintai dan menghilangkan benci atau sebaliknya. Untuk melihat sebagaimana adanya, kita harus melepas sisi-sisi subyektif kita.


Daftar Pustaka :
Magnis-Suseno,Franz. 2000, 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius
http://plato.stanford.edu/entries/scheler/ Diakses tanggal 5 Maret 2012 Pukul 15.05
http://www.phenomenologyonline.com/scholars/scheler-max/ Diakses tanggal 15 Maret 2012 Pukul 15.10
0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

PENGERTIAN FILSAFAT ILMU

Diposting oleh syahar banu di 02.36 Label: Filsafat Ilmu

Dosen  : Muhammad Abduhzen
Oleh : Fitriyani 210000005

Filsafat ilmu adalah salah satu cabang dari filsafat yang berkaitan dengan masalah ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi, dan implikasi dari ilmu,  termasuk di dalamnya ilmu alam dan ilmu social.

Filsafat ilmu masih dapat dibagi lagi menjadi sejumlah filsafat ilmu yang lebih khusus, seperti filsafat matematika, filsafat ilmu fisika, filsafat biologi, filsafat ilmu social, termasuk juga ilmu filsafat hukum.

Filsafat ilmu berkaitan erat dengan ontologi dan epistemologi. Filsafat ilmu berusaha menjelaskan berbagai masalah secara mendalam. Misalnya, apa dan bagaimana suatu konsep atau pernyataan bisa disebut ilmiah, bagaimana konsep tersebut di lahirkan, bagaimana ilmu menjelaskan dan memprediksikannya, serta bagaimana memanfaatkan alam melalui teknologi.

Filsafat ilmu memiliki peranan penting terhadap penalaran manusia untuk membangun ilmu. Hal ini di karenakan, filsafat ilmu akan menggali, menyelidiki dan menelusuri sedalam mungkin segala hal mengenai hakikat ilmu.  Kesimpulan yang dapat diambil ialah bahwa filsafat ilmu dapat menggambarkan bahwa ia merupakan akar dari ilmu pengetahuan.

Menurut Prof. Dr. Absori, filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang membicarakan atau merefleksikan secara mendasar dan integral mengenai hakikat ilmu tertentu. Sedangkan filsafat adalah berpikir mencari jawaban, dimana jawaban yang ditemukan tidak pernah bersifat mutlak. Sedangkan menurut Prof. Dr.Musa Asy’ari menyatakan bahwa filsafat adalah berpikir bebas, radikal, dan berada pada dataran makna. Filsafat ilmu secara umum dapat dipahami dari dua sisi, yakni sebagai disiplin ilmu dan sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat yang membicarakan objek khusus, yaitu ilmu pengetahuan. Dan sudah tentu memiliki sifat dan karakteristik yang hampir sama dengan filsafat pada umumnya. Sementara sebagai landasan filosofis bagi proses keilmuan, ia tak lain merupakan kerangka dasar dari proses keilmuan itu sendiri.
Ada beragam definisi tentang filsafat ilmu yang pernah ditulis.
  1. Robert Ackerman  (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat-pendapat lampau telah dibuktikan atau dalam kerangka kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
  2. Lewis White Beck (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
  3. A.Cornelius Benjamin  (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
  4. Michael V. Berry (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
  5. May Brodbeck (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu
  6. Peter Caws (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketidakteraturan dan Kesalahan
  7. Stephen R. Toulmin “(Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).
  8. Peter A Angeles, menjelaskan bahwa filsafat ilmu: suatu analisis dan pelukisan tentang ilmu dari berbagai sudut tinjauan, termasuk logika, metodologi,sosiologi,sejarah ilmu, dan lain-lain.
Pengertian tentang filsafat ilmu telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu.


0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

Terindrakan

Labels

  • cerita (1)
  • Dosen (4)
  • Etika (2)
  • Filsafat Ilmu (1)
  • Publikasi Media (5)
  • Tasawuf (1)
  • Umum (1)

Para Intelektual

  • Anggaranu
    ^!!^ Memphis 2013 Streaming Websites
    5 tahun yang lalu
  • Syaharbanu
    Bagaimana Mungkin
    5 tahun yang lalu
  • Dida Sobat
    Cinta Lakshmi untuk Gayatri
    6 tahun yang lalu
  • MIMPI DI UJUNG PAGI
    Aku ingin menikah, tapi bukan dengan Kamu
    8 tahun yang lalu
  • Serat Jingga~~
    Rindu yang Basah
    8 tahun yang lalu
  • Hidayat Taufik
    "Memoria Indonesia Bergerak"
    11 tahun yang lalu
  • Deep Sight
    ah Cafe PGC
    13 tahun yang lalu
  • Vision de Monde
    Malam Menjelang Fase Baru Anak Peruntungan
    13 tahun yang lalu
  • philosophy and the city

Followers

Blog Archive

  • ►  2015 (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ►  2013 (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ▼  2012 (9)
    • ▼  September (4)
      • Di Balik Layar Film Innocence
      • Pendidikan dan Kebudayaan
      • PENDIDIKAN YANG MERAKYAT
      • Korporatisasi Pendidikan
    • ►  Mei (5)
      • ARTHUR SCHOPENHAUER : BELAS KASIH DAN PENYANGKALAN...
      • Max Scheler : Wanita, Fenomonologi dan Cinta
      • PENGERTIAN FILSAFAT ILMU
 

© 2010 My Web Blog
designed by DT Website Templates | Bloggerized by Agus Ramadhani | Zoomtemplate.com