Dimuat Koran Tempo, Kamis, 21 September 2012
Oleh Novriantoni Kahar*
Komentar Twitter paling mengena tentang hiruk pikuk film Innocence of Muslims adalah yang menyebutnya trailer belaka. Film sesungguhnya justru kejar tayang sejenak setelah trailer itu. Kini ia tayang di Libya, Mesir, Tunisia, Yaman, Sudan, Pakistan, Afganistan, dan bahkan Indonesia. Betapa mudah orang-orang tak bertanggungjawab mempermainkan temperamen umat Islam lewat sebuah karya yang nista! Karena itu, saya sepakat dengan Mustafa Akyol (Hurriyet, 15 September): yang diperlukan umat Islam dalam momen-momen konyol ini adalah mengontrol kemarahan (anger management) dan respons yang beradab.
Dasar-dasar respons yang beradab dalam menghadapi provokasi keagamaan sesungguhnya sangat kuat dalam tradisi Islam perdana. Dalam Quran, banyak sekali ayat yang menyarankan orang Islam untuk merespons provokasi bodoh dengan cara yang bermartabat. Untuk menyebut sebagian, salah satu ciri hamba yang dikasihi Tuhan (ibad ar-Rahman) menurut al-Quran adalah: “… jika mereka diprovokasi orang-orang dungu, mereka cukup berkata, peace!” (Qs. Al-Furqan: 63).
Rekam jejak Nabi Muhammad sendiri menunjukkan dirinya bukan sosok gampang tersinggung dan mudah terhina. Penjagaan citra (sum’ah) dan keredibilitas (mishdaqiyyah) agama lebih dipentingkan Nabi semasa hidupnya. Tatkala sahabat Umar bin Khattab mengusulkan pelenyapan Abdullah bin Ubay, tokoh bermuka-dua yang tak henti-henti memprovokasi permusuhan antar-golongan di Madinah, Nabi menolak. Beliau tak ingin dikenal sebagai sosok haus darah dan Islam justru dikenal lewat provokasi musuh ketimbang keelokan perilaku Nabi dan penganutnya. Menghadapi provokasi, Nabi memilih lapang dada tinimbang jatuh-binasa kredibilitas agama; sesuatu yang diinginkan musuh-musuhnya.
Tulisan ini tak ingin berkhutbah tentang respons yang beradab terhadap film murahan yang menghina Nabi junjungan umat Islam itu. Yang hendak ditelusuri di sini justru gejolak apa yang berada di balik layar sehingga melahirkan kekacauan, merenggut nyawa duta besar Amerika, dan puluhan orang tak tahu apa-apa.
Kebangkitan Salafisme?
Sampai kini belum jelas siapa pembunuh Christopher Stevens, Duta Besar Amerika di konsulat Amerika di Benghazi, Libya. Beberapa dugaan menunjuk Brigade Anshar al-Shariah (pasukan pembela syariat), kubu kecil Salafi-jihadi yang berada di balik aksi ini. Ini sungguh tragedi dan bukan cara berterima kasih terbaik yang diinginkan rakyat Libya kepada Amerika. Survei Gallup membuktikan, Libya kini adalah negara Arab yang paling tak bermasalah dengan Amerika. Mayoritas rakyat Libya (54%) dalam survei Maret dan April 2012 mendukung kepemimpinan Amerika untuk menuntun masa transisi demokrasi di Libya (www.gallup.com). Sentimen positif ini tak lepas dari dukungan Amerika lewat NATO bagi perjuangan rakyat Libya melawan otoritarianisme rezim Qhadafi.
“Anomali Libya” ini tak berakhir di situ saja. Ketika Tunisia, Mesir, Maroko, dan Yordania membawa kaum Islamis ke tampuk kekuasaan dalam Musim Semi Arab ini, pemilu Libya justru dimenangkan koalisi nasionalis. Libya kini sedang merambah jalan demokrasi. Hanya saja, soal keamanan belum pulih betul dan kontrol kekuasaan belum sepenuhnya di tangan pemenang pemilu. Karena itu, kevakuman ini sangat mudah diisi oleh manuver-manuver kalangan manapun, termasuk kelompok ultra-konservatif Salafi yang semakin mengemuka. Dalam beberapa bulan terakhir, aksi-aksi vigilante dan Talibanisme semakin intensif dilakukan mereka demi menguji otoritas penguasa sementara.
Inilah yang disebut para pengamat sebagai “momentum Salafisme” (the Salafi moment). Yang dimaksud momentum Salafisme di sini adalah upaya kalangan ultra-konservatif Islam untuk tampil sebagai pemain utama dalam kancah perpolitikan baru Timur Tengah setelah terbukti nothing Islamic dari Musim Semi Arab ini. Salah satu caranya adalah dengan menguji stabilitas dan menekan perpolitikan ke jalur radikalisasi.
Di Libya, kaum Salafi menekan otoritas pemerintahan sementara dengan aksi-aksi penghancuran brutal terhadap komplek-komplek perkuburan sufi yang mereka anggap tidak Islami. Di Tunisia, kaum Salafi aktif melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat yang mereka tuding maksiat, bahkan mengutuk pengiriman atlet perempuan ke perhelatan Olimpiade. Berlarut-larutnya krisis Suriah, bagi para pengamat juga akan semakin menguatkan konsilidasi Salafi dalam mengisi kemungkinan Suriah pasca-Assad. Dunia tampak kurang waspada, kini kalangan Salafi makin menguat di berbagai belahan dunia, dari Mali ke Libanon, sejak Kashmir ke kawasan Kaukasus Utara Rusia (Foreign Policy, 12 September), bahkan melebihi pengaruh Ikhwani.
Karena itu, dalam Sheikhs and Politicians: Inside the New Egyptian Salafism (Juni 2012), Stéphane Lacroix menyebut kubu Salafi-politik yang berhasil membuat terobosan 25% dalam Pemilu di Mesir, kini aktif melakukan konsolidasi kekuasaan di kancah perpolitikan baru Timur Tengah dengan sokongan Arab Saudi. Perkembangan ini mau tak mau akan menghasilkan benturan-benturan, tidak hanya antara kaum Islamis dengan non-Islamis, tapi yang lebih sengit lagi adalah antara kaum Islamis yang lebih moderat dengan yang radikal-fundamentalistis (clash within Islamists). Lalu bagaimana menjelaskan kekacauan Innocence di Negeri Piramida?
Sebagai Pengalih
Dalam hal manipulasi isu-isu keagamaan untuk kepentingan politik, kelakuan rezim sekuler dan Islamis sesungguhnya relatif sama. Jytte Klausen dalam Egypt Fans the Flames menunjukkan, manuver rezim Ikhwani dalam kasus film Innocence kini lebih kurang sama dengan sikap rezim Mubarak terhadap kartun Denmark 6 tahun lalu. Keduanya sama-sama piawai melakukan provokasi protes keagamaan, antara lain sebagai upaya pengalihan isu (protest as distraction) dan upaya untuk mengonsolidasi kekuasaan (Foreign Affair, 13 September).
Tahun 2006, rezim Mubarak di balik layar memprovokasi protes kubu Islamis terhadap kartun surat kabar Denmark, Jyllands-Posten. Tujuan kala itu: menunjukkan kepada Amerika dan dunia bahwa marabahaya Islamisme akan mendekat di depan mata bila tekanan demokratisasi semakin meningkat. Sekalipun paling aktif melakukan protes kala itu, kubu Ikhwani sadar juga, kekacauan kartun tiada lain adalah cara rezim untuk mengalihkan perhatian dunia dari tuntutan reformasi politik Mesir sesungguhnya.
Kini setelah berkuasa, anehnya Ikhwani-lah yang paling awal menyerukan protes nasional terhadap Kedutaan Amerika di Kairo. Entah untuk tujuan apa. Namun script Mubarak kini tak mudah lagi dimainkan karena panggung telah berubah. Setelah di Kedutaan Amerika Kairo berkibar bendera al-Qaidah, Duta Besar Amerika terbunuh di Libya, dan pernyataan keras Obama bahwa Mesir bukanlah sekutu Amerika, sikap Ikhwani tampak berubah. Ditambah kecenderungan kubu Salafi untuk menarik radikalisasi ke stadium yang lebih tinggi, jelas ini bukan pertaruhan yang mudah bagi perpolitikan Ikhwani. Kaum Salafi Mesir yang tergabung dalam Koalisi Partai Cahaya, siap sedia menunjukkan bahwa mereka sangat vokal dan jauh lebih radikal dalam menyuarakan kepentingan Islam dibandingkan Ikhwani.
Kaum ultra-konservatif Salafi—sekalipun tampak tak kunjung move on ke dunia yang lebih beradab—dalam situasi-situasi tertentu mampu menunjukkan kepada dunia bahwa mereka adalah pemain politik yang piawai juga. Instabilitas dan kekacauan Timur Tengah adalah air keruh yang akan memanjangkan nafas dan menguatkan pengaruh mereka.
)*Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina