skip to main | skip to sidebar

Jejak Intelektual Falsafi

  • Entries (RSS)
  • Comments (RSS)
  • Home
  • About Us
  • Archives
  • Contact Us

Jumat, 16 Oktober 2015

Penari Api

Diposting oleh syahar banu di 17.32 Label: cerita
"Kau sudah lama memandangiku dari jauh ketika aku pikir, aku sibuk mencarimu."

Berulangkali aku bertekad untuk menggunakan kemahirku dalam berpura-pura tidak peduli. Tapi tak bisa. Ada nyala di dalam dada yang sulit padam. Ada panas menggeliat yang terperangkap dalam gelisah dan kian sulit ditenangkan. 

Aku sudah berlatih untuk pura-pura tenang sejak pertama kali kita bertemu. Aku senang sekali mengingatnya.

Aku sibuk mengabaikan tanganku yang bergetar saking paniknya harus bagaimana saat berjumpa nanti. Aku menahan diri untuk tidak bernafas terlalu keras untuk mengontrol derasnya aliran darahku. Aku tak tahu apakah cara tersebut cukup ampuh. Otakku rasanya membeku untuk beberapa saat. Aku lupa caranya berpikir. Bagaimanapun, aku mencoba sekeras mungkin untuk memerintahkan otakku bekerja. 

Aku harap, saat itu aku bisa memikirkan beberapa skenario yang mungkin terjadi dalam 5 menit ke depan, sejak pertama kali aku melangkahkan kaki di kotamu.

Skenario pertama, begitu bertatap muka, kita akan bersalaman dan bertukar senyum gugup sambil berbasa-basi soal cuaca dan perjalanan. Kemudian kau akan langsung mengantarkanku ke penginapan. Tanpa turun dari mobilmu, kau akan melambaikan tangan sambil berkata, "Sampai besok ya..."

Skenario kedua. Kita bertemu, kemudian masing-masing dari kita akan membungkuk dalam-dalam sambil berkata "Senang bertemu denganmu." Kemudian diam. Tak ada yang sepakat siapa diantara kita yang akan memecah kebekuan. Kau akan mengantarku ke mobilmu seperti yang biasa kau lakukan jika kau harus menjemput seseorang dari bandara. Kita berdua akan membisu sampai aku mengantuk dan jatuh tertidur. Beberapa saat kemudian, kau membangunkanku dengan kalimat, "Bangun. Sudah sampai di penginapanmu. Sampai jumpa besok." Sebelum masuk ke penginapan, aku akan melihat mobilmu melaju hingga benar-benar hilang ditelan malam.

Skenario ketiga. Kau akan buru-buru menghampiriku. Kemudian kau akan membawakan tasku yang berat sambil berlaku sesopan yang kau bisa. Tak lupa, kau juga akan bertanya apakah aku lapar, karena kau sudah menyiapkan makan malam romantis walau barangkali itu terlalu cepat untuk kita. Sebenarnya aku tidak lapar, tapi toh akhirnya akan mengiyakan saja segala yang kau tawarkan. Setidaknya itulah yang akan aku lakukan untuk menimbulkan kesan bahwa aku telah mengapresiasi caramu menyambutku. Skenario itu tidak buruk di kepalaku. Tapi, hey, apakah aku baru saja berharap ada sebuah makan malam romantis? Rasanya ini terlalu cepat. Ini gila. Tapi mungkin saja. Bukankah hal terbaik yang bisa terpikirkan adalah jangan berharap apapun dulu? Jangan. Aku meralat pendapatku sendiri. Skenario ini buruk, tapi, siapa tahu kau memang sudah menyiapkan segalanya dengan manis?

Skenario keempat. Kau memilih berdiri di dekat mobilmu. Kau melihatku yang tampak kebingungan dari jauh. Tapi kau juga terlalu malas untuk berjalan. Kau memilih untuk melambaikan tangan dari jauh. Kita akan melempar kata "Hai" dengan cara yang paling singkat. Kau akan menyuruhku masuk begitu saja ke mobilmu. Aku sudah gugup setengah mati. Sebagai orang yang tidak ingin tampak amatir dalam menyikapi pertemuan pertama, aku akan menutupinya dengan bicara sebanyak mungkin dengan berbagai topik yang sebenarnya tidak aku kuasai. Aku terlalu khawatir kau mendengar kerasnya degub jantungku. Jika ini benar-benar hal yang aku lakukan, apakah kau akan berpikir bahwa aku perempuan cerewet yang membosankan?

Aku tak sempat memikirkan soal skenario kelima ketika kau menelepon ponselku. Dimana? tanyamu saat itu.

Aku mendeskripsikan lokasiku. Kau mengarahkanku ke sana dan ke mari. Kemudian kau menutup pembicaraan sebelum aku menemukan sosokmu. Aku masih mengedarkan pandanganku ke segala arah ketika kau melambaikan tanganmu dari jauh. Dan setelahnya, terjadilah peristiwa seperti skenario keempat. Bedanya adalah, aroma mobilmu cukup menenangkan degubku. Radiomu meredam debarku. Sepertinya aku berhasil menenangkan diri sendiri. Ternyata ini lebih mudah dari yang aku duga. 

Mungkin kau tidak memperhatikan bahwa aku telah mati-matian memecah keheningan. Aku memanfaatkan keahlianku dalam berkomentar tentang segala sesuatu. Alih-alih berbicara soal kita dan panjangnya penantianmu, aku memilih untuk berkomentar tentang pesawat, bandara, jalan tol, lampu, pajak, pantai, tata kota, pariwisata, pemerintahan, baliho, dan apa saja yang sekiranya tidak membuatmu diam. 

Saat itu, aku begitu lelah dan mengantuk. Tapi di sisi lain, aku begitu bersemangat untuk berkata apa saja denganmu. 

Kau lebih banyak menghindari tatapanku saat itu. Beberapa kali kau tersenyum tanpa aku tahu sebabnya. Mungkin kau sama gugupnya denganku. Tapi aku lebih ahli dalam berpura-pura untuk tidak. 

Bahkan kau membuat meja kita bergetar dengan gerakan kakimu yang kikuk. Aku tertawa sendiri membayangkan gerakan kakimu di meja yang bagiku mirip penjahit dengan mesin tuanya yang perlu dikayuh secara manual. Saat itu aku mengingatkanmu dengan nada sedingin mungkin. Dan kau menyambutnya dengan menghisap rokok. Oh ya, bukankah kau berkata padaku sebelumnya bahwa kau bukan perokok?

Tunggu dulu, aku hampir mengingat segalanya. Semuanya. 

Sejujurnya, aku tak suka hidangan yang di sajikan di sana. Aku sudah mengatakan itu padamu. Tapi aku tak mengatakan bahwa saat itu aku suka caramu tersenyum sambil mengalihkan pandangan tiap kali ada sesuatu yang kau anggap lucu. Aku tak suka dengan kumismu yang berantakan, tapi aku suka nadamu bicara. Aku tak suka posisi dudukmu yang membungkuk saat menyetir. Tapi aku selalu suka kebersamaan kita di sana. 

Oh ya, sebenarnya aku tak suka saat kita makan siang bersama esok harinya. kau menambahkan terlalu banyak kecap serta perasan jeruk nipis di mangkuk supku, lalu dengan lancang mencicipnya. Tak pernah ada seorangpun yang pernah melakukannya. Aku tak suka ide soal semangkuk berdua dengan seseorang yang belum lama dekat. Tapi kau bilang supku sudah enak dan siap santap. Aku tak suka fakta bahwa kau benar bahwa sup itu memang lebih enak dari sebelumnya. Entah, selalu ada perasaan tak sependapat denganmu.

Aku ingin menemukan sebanyak mungkin hal yang tak aku suka darimu. Namun, setiap kali aku melakukannya, rasa manis yang kita ciptakan bersama dari kehangatanmu melintas. Mengingatnya, serasa ada yang sedang memeras jantungku. Melumat ulu hatiku. Membakar ego yang mengental di kepalaku.

Alis tebal di atas bola matamu yang mirip dengan warna mataku beserta beberapa helai perak yang bersembunyi malu-malu di rambutmu itu berhasil memaku ketergesaan gerakku. Pelan-pelan, aku terbiasa dengan tahi lalat di pipimu. Apakah aku sudah memberitahumu bahwa tahi lalat di wajah sering menjadi perumpamaan dalam puisi sufi tentang keindahan Tuhan?

Kita telah sampai sejauh ini. Belum terlalu jauh. Tapi, mari kita berandai-andai tentang perjalanan selanjutnya. 

Aku ingin bertanya padamu tentang beberapa hal. Bagaimana jika lengkung indah pelangi yang kau kejar ternyata tak berkaki dan tak pernah ada ujungnya? Mengapa kau menciptakan bayanganmu sendiri hingga kau lupa bagaimana percaya pada yang kenyataan? Bagaimana rasanya sibuk memahat khayalmu sendiri hingga lupa bahwa setiap kecantikan yang kau ciptakan dari sana menyimpan perih di setiap sisinya? 

Sepertinya kita berdua juga dihantui oleh sesuatu yang berbeda. Kita dicekam ketakutan masing-masing. Kita begitu takut melangkah karena takut terjebak pada mimpi buruk. Kita begitu khawatir tentangnya sampai lelah. Hingga kita berdua lupa caranya sadar untuk saling menguatkan.

Aku tak pandai menawarkan keindahan pada seseorang yang telah lama bersabar atas keacuhanku. Tapi, maukah kau menjadi penari api bersamaku? Aku ingin mengajakmu berdansa denganku, bagai geliat api di atas panas baraNya. Kelak, kita telah berpijar, menyala, hingga mengabu, segalanya demi terang di jalanNya.
0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

Terindrakan

Labels

  • cerita (1)
  • Dosen (4)
  • Etika (2)
  • Filsafat Ilmu (1)
  • Publikasi Media (5)
  • Tasawuf (1)
  • Umum (1)

Para Intelektual

  • Anggaranu
    ^!!^ Memphis 2013 Streaming Websites
    5 tahun yang lalu
  • Syaharbanu
    Bagaimana Mungkin
    5 tahun yang lalu
  • Dida Sobat
    Cinta Lakshmi untuk Gayatri
    6 tahun yang lalu
  • MIMPI DI UJUNG PAGI
    Aku ingin menikah, tapi bukan dengan Kamu
    8 tahun yang lalu
  • Serat Jingga~~
    Rindu yang Basah
    8 tahun yang lalu
  • Hidayat Taufik
    "Memoria Indonesia Bergerak"
    11 tahun yang lalu
  • Deep Sight
    ah Cafe PGC
    13 tahun yang lalu
  • Vision de Monde
    Malam Menjelang Fase Baru Anak Peruntungan
    13 tahun yang lalu
  • philosophy and the city

Followers

Blog Archive

  • ▼  2015 (1)
    • ▼  Oktober (1)
      • Penari Api
  • ►  2013 (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ►  2012 (9)
    • ►  September (4)
    • ►  Mei (5)
 

© 2010 My Web Blog
designed by DT Website Templates | Bloggerized by Agus Ramadhani | Zoomtemplate.com