skip to main | skip to sidebar

Jejak Intelektual Falsafi

  • Entries (RSS)
  • Comments (RSS)
  • Home
  • About Us
  • Archives
  • Contact Us

Jumat, 21 September 2012

Di Balik Layar Film Innocence

Diposting oleh syahar banu di 13.09 Label: Dosen, Publikasi Media

Dimuat Koran Tempo, Kamis, 21 September 2012
Oleh Novriantoni Kahar*

Komentar Twitter paling mengena tentang hiruk pikuk film Innocence of Muslims adalah yang menyebutnya trailer belaka. Film sesungguhnya justru kejar tayang sejenak setelah trailer itu. Kini ia tayang di Libya, Mesir, Tunisia, Yaman, Sudan, Pakistan, Afganistan, dan bahkan Indonesia. Betapa mudah orang-orang tak bertanggungjawab mempermainkan temperamen umat Islam lewat sebuah karya yang nista! Karena itu, saya sepakat dengan Mustafa Akyol (Hurriyet, 15 September): yang diperlukan umat Islam dalam momen-momen konyol ini adalah mengontrol kemarahan (anger management) dan respons yang beradab.

Dasar-dasar respons yang beradab dalam menghadapi provokasi keagamaan sesungguhnya sangat kuat dalam tradisi Islam perdana. Dalam Quran, banyak sekali ayat yang menyarankan orang Islam untuk merespons provokasi bodoh dengan cara yang bermartabat. Untuk menyebut sebagian, salah satu ciri hamba yang dikasihi Tuhan (ibad ar-Rahman) menurut al-Quran adalah: “… jika mereka diprovokasi orang-orang dungu, mereka cukup berkata, peace!” (Qs. Al-Furqan: 63).

Rekam jejak Nabi Muhammad sendiri menunjukkan dirinya bukan sosok gampang tersinggung dan mudah terhina. Penjagaan citra (sum’ah) dan keredibilitas (mishdaqiyyah) agama lebih dipentingkan Nabi semasa hidupnya. Tatkala sahabat Umar bin Khattab mengusulkan pelenyapan Abdullah bin Ubay, tokoh bermuka-dua yang tak henti-henti memprovokasi permusuhan antar-golongan di Madinah, Nabi menolak. Beliau tak ingin dikenal sebagai sosok haus darah dan Islam justru dikenal lewat provokasi musuh ketimbang keelokan perilaku Nabi dan penganutnya. Menghadapi provokasi, Nabi memilih lapang dada tinimbang jatuh-binasa kredibilitas agama; sesuatu yang diinginkan musuh-musuhnya.

Tulisan ini tak ingin berkhutbah tentang respons yang beradab terhadap film murahan yang menghina Nabi junjungan umat Islam itu. Yang hendak ditelusuri di sini justru gejolak apa yang berada di balik layar sehingga melahirkan kekacauan, merenggut nyawa duta besar Amerika, dan puluhan orang tak tahu apa-apa.

Kebangkitan Salafisme?

Sampai kini belum jelas siapa pembunuh Christopher Stevens, Duta Besar Amerika di konsulat Amerika di Benghazi, Libya. Beberapa dugaan menunjuk Brigade Anshar al-Shariah (pasukan pembela syariat), kubu kecil Salafi-jihadi yang berada di balik aksi ini. Ini sungguh tragedi dan bukan cara berterima kasih terbaik yang diinginkan rakyat Libya kepada Amerika. Survei Gallup membuktikan, Libya kini adalah negara Arab yang paling tak bermasalah dengan Amerika. Mayoritas rakyat Libya (54%) dalam survei Maret dan April 2012 mendukung kepemimpinan Amerika untuk menuntun masa transisi demokrasi di Libya (www.gallup.com). Sentimen positif ini tak lepas dari dukungan Amerika lewat NATO bagi perjuangan rakyat Libya melawan otoritarianisme rezim Qhadafi.

“Anomali Libya” ini tak berakhir di situ saja. Ketika Tunisia, Mesir, Maroko, dan Yordania membawa kaum Islamis ke tampuk kekuasaan dalam Musim Semi Arab ini, pemilu Libya justru dimenangkan koalisi nasionalis. Libya kini sedang merambah jalan demokrasi. Hanya saja, soal keamanan belum pulih betul dan kontrol kekuasaan belum sepenuhnya di tangan pemenang pemilu. Karena itu, kevakuman ini sangat mudah diisi oleh manuver-manuver kalangan manapun, termasuk kelompok ultra-konservatif Salafi yang semakin mengemuka. Dalam beberapa bulan terakhir, aksi-aksi vigilante dan Talibanisme semakin intensif dilakukan mereka demi menguji otoritas penguasa sementara.

Inilah yang disebut para pengamat sebagai “momentum Salafisme” (the Salafi moment). Yang dimaksud momentum Salafisme di sini adalah upaya kalangan ultra-konservatif Islam untuk tampil sebagai pemain utama dalam kancah perpolitikan baru Timur Tengah setelah terbukti nothing Islamic dari Musim Semi Arab ini. Salah satu caranya adalah dengan menguji stabilitas dan menekan perpolitikan ke jalur radikalisasi.

Di Libya, kaum Salafi menekan otoritas pemerintahan sementara dengan aksi-aksi penghancuran brutal terhadap komplek-komplek perkuburan sufi yang mereka anggap tidak Islami. Di Tunisia, kaum Salafi aktif  melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat yang mereka tuding maksiat, bahkan mengutuk pengiriman atlet perempuan ke perhelatan Olimpiade. Berlarut-larutnya krisis Suriah, bagi para pengamat juga akan semakin menguatkan konsilidasi Salafi dalam mengisi kemungkinan Suriah pasca-Assad. Dunia tampak kurang waspada, kini kalangan Salafi makin menguat di berbagai belahan dunia, dari Mali ke Libanon, sejak Kashmir ke kawasan Kaukasus Utara Rusia (Foreign Policy, 12 September), bahkan melebihi pengaruh Ikhwani.

Karena itu, dalam Sheikhs and Politicians: Inside the New Egyptian Salafism (Juni 2012), Stéphane Lacroix menyebut kubu Salafi-politik yang berhasil membuat terobosan 25% dalam Pemilu di Mesir, kini aktif melakukan konsolidasi kekuasaan di kancah perpolitikan baru Timur Tengah dengan sokongan Arab Saudi. Perkembangan ini mau tak mau akan menghasilkan benturan-benturan, tidak hanya antara kaum Islamis dengan non-Islamis, tapi yang lebih sengit lagi adalah antara kaum Islamis yang lebih moderat dengan yang radikal-fundamentalistis (clash within Islamists). Lalu bagaimana menjelaskan kekacauan Innocence di Negeri Piramida?

Sebagai Pengalih

Dalam hal manipulasi isu-isu keagamaan untuk kepentingan politik, kelakuan rezim sekuler dan Islamis sesungguhnya relatif sama. Jytte Klausen dalam Egypt Fans the Flames menunjukkan, manuver rezim Ikhwani dalam kasus film Innocence kini lebih kurang sama dengan sikap rezim Mubarak terhadap kartun Denmark 6 tahun lalu. Keduanya sama-sama piawai melakukan provokasi protes keagamaan, antara lain sebagai upaya pengalihan isu (protest as distraction) dan upaya untuk mengonsolidasi kekuasaan (Foreign Affair, 13 September).

Tahun 2006, rezim Mubarak di balik layar memprovokasi protes kubu Islamis terhadap kartun surat kabar Denmark, Jyllands-Posten. Tujuan kala itu: menunjukkan kepada Amerika dan dunia bahwa marabahaya Islamisme akan mendekat di depan mata bila tekanan demokratisasi semakin meningkat. Sekalipun paling aktif melakukan protes kala itu, kubu Ikhwani sadar juga, kekacauan kartun tiada lain adalah cara rezim untuk mengalihkan perhatian dunia dari tuntutan reformasi politik Mesir sesungguhnya.

Kini setelah berkuasa, anehnya Ikhwani-lah yang paling awal menyerukan protes nasional terhadap Kedutaan Amerika di Kairo. Entah untuk tujuan apa. Namun script Mubarak kini tak mudah lagi dimainkan karena panggung telah berubah. Setelah di Kedutaan Amerika Kairo berkibar bendera al-Qaidah, Duta Besar Amerika terbunuh di Libya, dan pernyataan keras Obama bahwa Mesir bukanlah sekutu Amerika, sikap Ikhwani tampak berubah. Ditambah kecenderungan kubu Salafi untuk menarik radikalisasi ke stadium yang lebih tinggi, jelas ini bukan pertaruhan yang mudah bagi perpolitikan Ikhwani. Kaum Salafi Mesir yang tergabung dalam Koalisi Partai Cahaya, siap sedia menunjukkan bahwa mereka sangat vokal dan jauh lebih radikal dalam menyuarakan kepentingan Islam dibandingkan Ikhwani.

Kaum ultra-konservatif Salafi—sekalipun tampak tak kunjung move on ke dunia yang lebih beradab—dalam situasi-situasi tertentu mampu menunjukkan kepada dunia bahwa mereka adalah pemain politik yang piawai juga. Instabilitas dan kekacauan Timur Tengah adalah air keruh yang akan memanjangkan nafas dan menguatkan pengaruh mereka.

)*Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina


0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

Pendidikan dan Kebudayaan

Diposting oleh syahar banu di 13.01 Label: Dosen, Publikasi Media

Dimuat di Harian KOMPAS Sabtu, 07 April 2012

Oleh Mohammad Abduhzen

Kembalinya ”kebudayaan” pada Kementerian Pendidikan Nasional telah menegaskan lagi bahwa pendidikan adalah jalan utama kebudayaan. Melalui pendidikan, seseorang mengalami proses pembudayaan dan lewat pendidikan pula sebuah bangsa mewujudkan kebudayaan seperti yang diinginkannya.

Disebut kebudayaan yang diinginkan karena kebudayaan bukan sekadar koleksi artefak dan tradisi untuk dilestarikan. Lebih dari itu, kebudayaan adalah respons manusia terhadap berbagai tantangan, kemudian memberi wujud baru pada pola-pola yang ada.

Pendidikan sebagai jalan kebudayaan tidak berarti bahwa dalam kurikulum persekolahan hadir mata pelajaran kebudayaan; atau pada nama lembaga pendidikan tertentu harus tercantum kata budaya/kebudayaan. Eksistensi pendidikan dalam keseluruhannya adalah, dan harus dirancang sebagai, proses pembudayaan. Dengan demikian, pendidikan niscaya merupakan bagian dari strategi pembangunan kebudayaan bangsa.

Meski konsep kebudayaan nasional belum begitu terang, menyaksikan situasi kebangsaan kita dewasa ini dengan berbagai kecenderungan masa depan yang ada, penyelenggaraan sistem pendidikan nasional harus difungsikan pertama-tama sebagai upaya penyadaran tentang status manusia: makhluk berkebudayaan.

Sejak lama berbagai agama mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk mulia, bahkan manusia dianggap sebagai wakil/citra Tuhan di muka bumi (khalifah fil ardl). Pada diri manusia terdapat banyak potensi—di antaranya akal kreatif dan kehendak bebas (free will) yang sejatinya hanya milik Tuhan—yang memungkinkannya membentuk kebudayaan dan karena itu ia berbeda dengan makhluk yang lain.

Tidak seperti tumbuhan dan hewan, kehadiran manusia di dunia ini bukan untuk sekadar bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Manusia datang untuk mengubah lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan dan martabat dirinya. Maka, manusia pun mencipta.

Karya menentukan muruah manusia. Apakah ia berkontribusi merawat dan memuliakan kehidupan atau sebaliknya merusak dan menghancurkannya.

Apabila dia memilih peran destruktif, kemanusiaannya akan jatuh ke derajat yang lebih rendah daripada kawanan hewan karena daya-daya yang dimiliki manusia dapat melahirkan kejahatan yang bersifat kreatif.

Para pelajar perlu disadarkan bahwa menjadi manusia artinya beramal, yaitu berkarya untuk kemaslahatan bersama.

Kedua, pendidikan sebagai proses pembudayaan harus menumbuhkan identitas nasional. Substansi dari identitas nasional adalah jawaban atas pertanyaan tentang siapa kita sebagai orang dan bangsa Indonesia serta apa yang membedakannya dengan ”dia” atau ”mereka” yang lain, yang bukan Indonesia.

Makna kebangsaan Indonesia

Kebangsaan Indonesia, menurut Franz Magnis-Suseno (dalam Yudi Latif, 2011), memang bukan sesuatu yang terbentuk secara alami berdasarkan adanya satu bahasa dan satu budaya yang lalu terungkap dalam kesatuan organisatoris negara nasional. Kebangsaan Indonesia yang kita saksikan pada abad ke-21 ini adalah hasil sebuah proses nation building terus-menerus yang kalau tidak dipelihara akan pudar.

Pudarnya semangat nasionalisme sangat terasa dewasa ini, ditandai dengan semakin kaburnya identitas kebangsaan kita. Setiap mendengar kata ”Indonesia” atau mengatakan ”saya orang Indonesia”, nyaris tidak ada suasana esoteris yang muncul sebagai jati diri yang patut dibanggakan.

Terkadang melintas kenangan tentang keramahan, kesalehan, kebinekaan, kekayaan alam, Pancasila, dan heroisme, tetapi ingatan itu segera didekonstruksi oleh beragam fakta yang menegasikannya sehingga yang tersisa hanyalah kehampaan, juga keputusasaan. Kenyataan ini diperparah oleh Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) yang menyampaikan Pancasila dan UUD 1945 hanya sebatas dasar administrasi pemerintahan, bukan sebagai nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa.

Tantangan bagi dunia pendidikan adalah bagaimana menunjukkan identitas dan menumbuhkan kebanggaan nasional di tengah beragam paradoks yang ada: paradoks antara negeri kaya dan rakyat yang menderita; antara nilai-nilai ideal Pancasila dan praktik neoliberalisme yang menggurita; antara keramahan, kebinekaan dengan keberingasan, dan konflik sosial yang marak; antara kesalehan, keheroikan dengan kemunafikan, korupsi, dan keculasan para pemimpin.

Reformasi pendidikan

Dunia pendidikan kita memerlukan konsepsi baru tentang identitas nasional untuk mengisi dan mengganti makna ”Indonesia” yang kini usang. Namun, mungkinkah kita memiliki konsepsi yang lebih baik sementara kenyataan dibiarkan buruk?

Ketiga, pendidikan harus diarahkan pada pembentukan pola pikir (mindset) bangsa. Serupa dengan Malaysia dahulu, problem terpenting dan tersulit bagi kemajuan bangsa Indonesia sekarang ini adalah pola pikir. Struktur berpikir bangsa ini centang-perenang seperti tampak pada sikap menerabas, yaitu menghendaki hasil segera tanpa mengindahkan prasyarat, prosedur, dan kerja keras. Kekacauan berpikir juga tergambar dari kebijakan pemerintah yang sering kali melantur dan tak realistis.

”Modernisasi pikiran”, dengan mengubah terutama cara pandang terhadap kerja, itulah yang dilakukan oleh Mahathir Mohamad terhadap bangsanya pada awal 1970-an. Melalui kebijakan ekonomi dan pendidikan dalam gerakan ”Melayu Baru”, ia berhasil membangun mentalitas baru sehingga kinerja menjadi sebuah sistem nilai yang dianut oleh setiap anggota komunitas. Di antara buah yang penting dari perubahan tersebut adalah meningkatnya jumlah karya ilmiah para intelektual Malaysia.

Bangsa Indonesia dapat maju hanya jika kita mengubah pola pikir secara tepat. Selain perbaikan cara pandang terhadap kerja, mentalitas kita juga harus segera disembuhkan dari bilur-bilur keterjajahan. Fantasi keterjajahan telah membiasakan sikap tidak bertanggung jawab serta mendorong anak-anak negeri ini bangga menggerogoti uang negara.

Masalahnya, pendidikan yang kita harapkan dapat membentuk pola pikir merdeka justru kelanjutan dari apa yang didesain pemerintah kolonial untuk memperkukuh kesadaran kita sebagai inlander.

Kembalinya ”kebudayaan” pada Kementerian Pendidikan Nasional seyogianya menjadi momentum untuk mereformasi pendidikan kita secara total, fundamental, dan gradual sehingga benar-benar menjadi jalan lurus memperadabkan bangsa ini.

Mohammad Abduhzen,  Direktur Eksekutif Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI, Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina.



0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

PENDIDIKAN YANG MERAKYAT

Diposting oleh syahar banu di 12.58 Label: Dosen, Publikasi Media

Dimuat di Harian KOMPAS

Oleh Mohammad Abduhzen

Ki Hadjar Dewantara, selain memperkenalkan Metode Among (ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani) dalam proses pembelajaran, sangat menekankan pendidikan sebagai jalan untuk memperbaiki nasib rakyat. 

Pada Kongres I Taman Siswa di Yogyakarta,  20 Oktober 1923, Ki Hadjar Dewantara menyampaikan dua gagasan pokok sebagai bagian dari tujuh asas Taman Siswa, yaitu pendidikan berasas pada kebudayaan sendiri dan pendidikan yang merakyat. 

Pendidikan dan pengajaran, menurut Dewantara, harus mengena pada rakyat secara luas dan tidak boleh memisahkan orang-orang terpelajar dari penghidupan rakyat senyatanya. Untuk itu, pendidikan nasional mesti diselenggarakan selaras dengan kodrat bangsa. Hanya dengan cara itu ketertinggalan masyarakat pribumi dapat dihilangkan, dan kedamaian dalam kehidupan bersama dapat diwujudkan.  

Ki Hadjar Dewantara sangat kecewa menyaksikan sistem pendidikan dan cara pengajaran yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dalam artikel yang berjudul “Koerangnja dan Ketjewanja Onderwijs bagi Ra’jat Kita” pada Majalah Wasita jilid 1 No 5 edisi Februari 1929, ia mengkritik pelaksanaan pendidikan dan pengajaran pemerintah yang terlampau menekankan aspek keterampilan dan intelektualisme yang berorientasi pada kepentingan  Barat. 

Pendidikan yang demikian akan menggerus nilai-nilai spiritualitas (budaya) dan tidak akan dapat mengangkat derajat masyarakat pribumi, bahkan semakin menenggelamkannya sebagai  budak bangsa lain. Padahal, pendidikan--dalam pandangan Dewantara--seharusnya menjadi upaya pembudayaan dan jalan menuju ke penghidupan baru yang lebih sejahtera dan mandiri.

Tidak Mengenai Rakyat
Kini setelah 80-an tahun berlalu, kekecewaan Ki Hadjar Dewantara tidaklah sirna, malah menjalari batin bangsa. Pendidikan dan pengajaran, meskipun dilaksanakan oleh pemerintah kita sendiri, ternyata tidak mampu memperbaiki nasib dan martabat bangsa. 

Kenyataannya, kedamaian hidup yang didambakan oleh rakyat berkat kesejahteraan dan perlindungan oleh negara masih jauh panggang dari api. Rakyat mati konyol karena tersiksa sebagai TKI di luar negeri. Geng motor, perampokan di siang bolong, pemerkosaan dalam angkot, gangguan sempadan oleh negara jiran adalah sebagian kecil dari fakta yang menandakan daya negara dalam memberikan perlindungan terhadap segenap bangsa dan seluruh tumpah darah masih sangat lemah.   

Pendidikan dan pengajaran kita, seperti dikhawatirkan oleh Ki Hadjar Dewantara, berjalan tidak berasas pada kebutuhan sendiri sehingga tidak mampu membebaskan diri dari ketergantungannya pada pihak asing. Dewasa ini tujuh dari sembilan bahan pokok serta berbagai sumber daya alam kita diimpor dari dan dikuasai oleh bangsa lain. 

Kendati negeri ini disebut agraris -–meski dua pertiga wilayahnya berupa laut--dan memiliki sekolah menengah, fakultas/jurusan/program studi, hingga institut teknologi pertanian, pertanian tidak mengalami kemajuan secara berarti. Perekonomian bangsa Indonesia tidak bersaka guru, baik pada pertanian maupun kelautan (perairan). Sementara 60 persen rakyat masih hidup dari pertanian, yang 80 persen di antaranya miskin.

Kelautan, perikanan, dan studi tentang keduanya baru mendapatkan perhatian pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Itu pun setelah ikan, pasir, dan kekayaan perairan kita banyak dijarah.

Sekarang pendidikan pertanian tergolong bidang yang jenuh, kurang diminati karena sulit mendapatkan pekerjaan. Konon 8 dari 10 lulusan institut pertanian yang terkenal tidak bekerja pada bidang yang bersangkutan. Lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar petani menyekolahkan anaknya hingga ke level paling tinggi agar tak menjadi petani seperti orang tuanya. Apakah jadinya kelak negeri ini bila keadaan ini terus berlangsung?

Pendidikan kita sepertinya juga telah gagal membangun budaya bangsa yang merdeka dan berjiwa maju. Pertama, spirit dan pola pikir sebagian besar anak negeri ini masih melanjutkan gaya nenek moyang yang hidup dalam alam yang serba berkecukupan. Sifat serba ingin cepat, mudah, dan santai--meski melanggar aturan-- masih menjadi ciri kepribadian bangsa. Kinerja belum menjadi nilai dan budaya yang dianut oleh sebagian besar masyarakat. Sementara itu, tantangan terus berubah, bahkan semakin berat.

Kedua, perilaku irasionalitas masih sangat dominan di tengah masyarakat kita. Alam mitis dan mistis masih bersemayam kuat dan semakin disuburkan melalui berbagai program “penampakan” televisi. Emosionalisme yang ditandai oleh amuk dan keberingasan, terutama setelah reformasi, semakin  menjadi. Kini, bukan hanya pelajar terlibat tawuran, polisi dan TNI juga saling menyerang. Rakyat berdemo, menyabet apa saja; dan anggota DPR pun berkelahi.    

Ketiga, alam pikiran bangsa ini belum pulih dari memar keterjajahan sehingga penampilan para pemimpin dan pejabat kita persis perilaku para menir dan amtenar kolonial: menindas dan korup. Di sisi lain, mentalitas kita menunjukkan sindrom minder yang akut, terutama terhadap Barat, sehingga sering kali mencari berbagai upaya penguatan semu.

Kelas Dunia
Di tengah kegalauan bangsa ini, dunia pendidikan kita tiba-tiba seperti mengigau tentang “kelas dunia” yang tidak jelas maksudnya: World class university (WCU) ataupun (rintisan) Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).

Gagasan “kelas dunia,” disadari ataupun tidak, muncul dari naluri dan kerangka berpikir Darwinisme Sosial yang melihat setiap perkembangan selalu dalam relasi konkurensi yang harus dimenangi. 
Kosakata persaingan atau kompetisi kemudian menjadi visi Kemdikbud 2025. Visi komersial ini menuntun segenap upaya pendidikan kita untuk melihat keluar, mengacu pada dan menggunakan standar-standar (yang dikira) internasional, misalnya negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Orientasi berpikir demikian membuat jalannya pendidikan tidak hanya mengabaikan nilai-nilai dan kebutuhan riil kita atau “tidak selaras dengan kodrat bangsa” menurut ungkapan Ki Hadjar Dewantara, tetapi juga menjadi diskriminatif. Jika dahulu anak demang, pesirah, dan keluarga bangsawan serta orang kaya yang dapat menikmati pendidikan yang baik, sekarang pun serupa pula adanya.   

Ketidakselarasan dengan kodrat bangsa dan diskriminatif telah membuat para tokoh, seperti Willem Iskandar di Tapanuli Selatan, Mohammad Syafei di Sumatera Barat, dan Ki Hadjar Dewantara di Jawa berjuang agar pengajaran dan pendidikan berlangsung sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan bangsa serta dapat diperoleh rakyat luas. Mereka paham, jika pendidikan yang baik tidak didapatkan oleh sebagian besar rakyat, maka  bangsa ini akan terus melarat.
Di Podium Presiden AS
Dirgahayu pendidikan Indonesia!

Mohammad Abduhzen,  Direktur Eksekutif Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI, Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina



0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

Korporatisasi Pendidikan

Diposting oleh syahar banu di 12.51 Label: Dosen, Publikasi Media

Dimuat di Kompas Kamis, 30 Agustus 2012

Oleh Mohammad Abduhzen

Di tengah budaya korup sekarang, lembaga persekolahan tak sepenuhnya lagi menjadi institusi terpuji, tempat mengajarkan kearifan dan membentuk watak mulia. Lingkungan sekolah, terlebih pendidikan tinggi, kini menyerupai korporasi di mana berbagai transaksi—juga korupsi—terjadi.

Kasus korupsi pengadaan sarana dan prasarana yang melibatkan 16 perguruan tinggi negeri (PTN), beragamnya jalur masuk PTN, plagiarisme, kecurangan ujian nasional (UN) adalah gambaran iklim buruk yang berkembang dalam pendidikan kita. Juga maraknya penyalahgunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan operasional pendidikan (BOP), dan block grant rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), serta berbagai kasus pungutan di banyak sekolah.

Spirit korporatisasi dan korupsi di dunia pendidikan mengalami akselerasi dan pengukuhan lewat pilar privatisasi dan kebijakan UN.

Tiga pilar privatisasi
Undang-Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memuat tiga ketentuan penyangga privatisasi institusi pendidikan. Pertama, pendanaan menjadi tanggung jawab masyarakat, di samping pemerintah (Pasal 46). Ini jadi dasar pembenaran bagi anggaran pendidikan yang senantiasa tak mencukupi meski besarannya melampaui angka 20 persen dari APBN. Logika pemerintah, dirinya bertanggung jawab hanya sebagian atas pendanaan, sementara kekurangannya adalah bagian/tanggungan masyarakat.

Kemudian, pemerintah memosisikan dirinya sebagai donatur atau fasilitator pendidikan. Alhasil, muncullah beragam istilah ”bantuan”, seperti BOS, BOP, hibah (block grant), ataupun dalam bentuk beragam jenis beasiswa.

Pola bantuan seperti ini membingungkan karena—menurut Pasal 31 Ayat 3 UUD 1945—pemerintah adalah pihak yang mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional. Pemerintah seharusnya jadi tuan rumah pendidikan, bukan sekadar donatur atau fasilitator.

Kedua, pendidikan dikelola dengan manajemen berbasis sekolah atau MBS (Pasal 51) dan otonomi perguruan tinggi (Pasal 50). Melalui model ini, pemerintah melepas tanggung jawab dan memberikan otoritasnya kepada setiap lembaga pendidikan untuk menggali dana masyarakat secara mandiri.

Ketiga, penyelenggara dan/ atau satuan pendidikan harus berbentuk badan hukum pendidikan/BHP (Pasal 53 Ayat 1). Badan ini berprinsip nirlaba, tetapi praktiknya BHP berfungsi sebagai handelar (baca: pedagang) korporasi yang boleh mewadahi beberapa unit usaha profitabel. Meskipun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan pemerintah tak berkeinginan memprivatisasi pendidikan (Kompas.com, 27 Maret 2012), tetapi ide utama yang dikembangkan dalam UU BHP yang kini bermetamorfosis menjadi UU Pendidikan Tinggi ialah korporatisasi dan privatisasi lembaga pendidikan.

Korporatisasi dan privatisasi memang tidak dimaksudkan untuk mengalihkan kepemilikan sekolah dan perguruan tinggi (negeri) kepada perseorangan atau swasta. Namun, secara gradual akan mengeliminasi peran pemerintah dalam pembiayaan dengan mengidealkan sekolah dan perguruan tinggi mandiri.

Apabila terus dikembangkan, gagasan ini akan berdampak: pertama, tanggungan biaya masyarakat terus meningkat. Para pengelola pendidikan yang sedianya guru dan dosen bukanlah pebisnis andal. Kemampuan mereka mengoleksi dana terbatas dari orangtua murid/mahasiswa, paling jauh menyewakan aset. Adapun untuk transaksi besar—pada kenyataannya—mereka hanya diperalat oleh para pejabat, pebisnis, atau politikus.

Kedua, mutu pendidikan akan merosot karena iklim akademis tergerus bisnis. Kampus dan pengelolanya akan disibukkan oleh berbagai urusan niaga, yang tentunya lebih mengasyikkan, sehingga peningkatan kualitas terabaikan. Situasi itu kini mulai dirasakan bukan saja dengan hadirnya kios, kafe, dan mal di dalam kampus, melainkan juga berkembangnya logika dan kosakata dagang, seperti daya saing, standardisasi, sertifikasi ISO, kualitas tergantung harga, dan lain sebagainya.

Ketiga, roh pendidikan akan pudar. Interaksi pembelajaran sebagai proses humanisasi— mencerdaskan dan membudayakan—berubah menjadi relasi-relasi transaksional. Di sini, murid tak lebih dari onggokan komoditas yang dilabeli nilai seperti kualitas satu, produk lokal, atau kelas internasional. Sementara para pendidik yang dinobatkan sebagai profesional merasa sah menukarkan tenaga dan pikirannya dengan sejumlah bayaran. Maka, pendidikan pun menjadi penuh pamrih dan relevansinya dengan persoalan bangsa semakin kabur.

Keempat, korupsi akan tumbuh subur. Orientasi pendidikan menjadi materialistis, sementara pemerintah dan masyarakat yang menyubordinasikannya secara sistemis telah korup. Alhasil, ide-ide koruptif dengan mudah mengontaminasi lingkungan pendidikan.
UN, afirmasi korupsi

Kontaminasi koruptif dalam lingkungan pendidikan diperluas melalui UN. Kebijakan UN tak boleh dianggap sepele. UU bukan sekadar menyimpang dari perundang-undangan dan melanggar hak anak menurut putusan pengadilan, juga bukan hanya melanggar prinsip-prinsip pedagogi. Lebih dari semua itu, UN adalah makar melalui demoralisasi bangsa.

Konspirasi massal guru dan murid melakukan kecurangan berulang-ulang telah meruntuhkan makna dan sendi-sendi utama pendidikan. Nasihat kejujuran dan sportivitas dalam pembelajaran menjadi absurd. Melalui UN, bibit korupsi yang bertaburan di pemerintah dan masyarakat ditanam dan diteguhkan secara efektif ke dalam jiwa anak di seantero negeri. Tak terbayangkan seperti apa karakter bangsa ini di masa depan.

Korporatisasi dan korupsi merupakan sandyakala di atas sekolah kita. Oleh sebab itu, pendidikan kita memerlukan perubahan besar dan mendasar.

Mohammad Abduhzen Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI. Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina


0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

Terindrakan

Labels

  • cerita (1)
  • Dosen (4)
  • Etika (2)
  • Filsafat Ilmu (1)
  • Publikasi Media (5)
  • Tasawuf (1)
  • Umum (1)

Para Intelektual

  • Anggaranu
    ^!!^ Memphis 2013 Streaming Websites
    5 tahun yang lalu
  • Syaharbanu
    Bagaimana Mungkin
    5 tahun yang lalu
  • Dida Sobat
    Cinta Lakshmi untuk Gayatri
    6 tahun yang lalu
  • MIMPI DI UJUNG PAGI
    Aku ingin menikah, tapi bukan dengan Kamu
    8 tahun yang lalu
  • Serat Jingga~~
    Rindu yang Basah
    8 tahun yang lalu
  • Hidayat Taufik
    "Memoria Indonesia Bergerak"
    11 tahun yang lalu
  • Deep Sight
    ah Cafe PGC
    13 tahun yang lalu
  • Vision de Monde
    Malam Menjelang Fase Baru Anak Peruntungan
    13 tahun yang lalu
  • philosophy and the city

Followers

Blog Archive

  • ►  2015 (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ►  2013 (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ▼  2012 (9)
    • ▼  September (4)
      • Di Balik Layar Film Innocence
      • Pendidikan dan Kebudayaan
      • PENDIDIKAN YANG MERAKYAT
      • Korporatisasi Pendidikan
    • ►  Mei (5)
 

© 2010 My Web Blog
designed by DT Website Templates | Bloggerized by Agus Ramadhani | Zoomtemplate.com