skip to main | skip to sidebar

Jejak Intelektual Falsafi

  • Entries (RSS)
  • Comments (RSS)
  • Home
  • About Us
  • Archives
  • Contact Us

Jumat, 16 Oktober 2015

Penari Api

Diposting oleh syahar banu di 17.32 Label: cerita
"Kau sudah lama memandangiku dari jauh ketika aku pikir, aku sibuk mencarimu."

Berulangkali aku bertekad untuk menggunakan kemahirku dalam berpura-pura tidak peduli. Tapi tak bisa. Ada nyala di dalam dada yang sulit padam. Ada panas menggeliat yang terperangkap dalam gelisah dan kian sulit ditenangkan. 

Aku sudah berlatih untuk pura-pura tenang sejak pertama kali kita bertemu. Aku senang sekali mengingatnya.

Aku sibuk mengabaikan tanganku yang bergetar saking paniknya harus bagaimana saat berjumpa nanti. Aku menahan diri untuk tidak bernafas terlalu keras untuk mengontrol derasnya aliran darahku. Aku tak tahu apakah cara tersebut cukup ampuh. Otakku rasanya membeku untuk beberapa saat. Aku lupa caranya berpikir. Bagaimanapun, aku mencoba sekeras mungkin untuk memerintahkan otakku bekerja. 

Aku harap, saat itu aku bisa memikirkan beberapa skenario yang mungkin terjadi dalam 5 menit ke depan, sejak pertama kali aku melangkahkan kaki di kotamu.

Skenario pertama, begitu bertatap muka, kita akan bersalaman dan bertukar senyum gugup sambil berbasa-basi soal cuaca dan perjalanan. Kemudian kau akan langsung mengantarkanku ke penginapan. Tanpa turun dari mobilmu, kau akan melambaikan tangan sambil berkata, "Sampai besok ya..."

Skenario kedua. Kita bertemu, kemudian masing-masing dari kita akan membungkuk dalam-dalam sambil berkata "Senang bertemu denganmu." Kemudian diam. Tak ada yang sepakat siapa diantara kita yang akan memecah kebekuan. Kau akan mengantarku ke mobilmu seperti yang biasa kau lakukan jika kau harus menjemput seseorang dari bandara. Kita berdua akan membisu sampai aku mengantuk dan jatuh tertidur. Beberapa saat kemudian, kau membangunkanku dengan kalimat, "Bangun. Sudah sampai di penginapanmu. Sampai jumpa besok." Sebelum masuk ke penginapan, aku akan melihat mobilmu melaju hingga benar-benar hilang ditelan malam.

Skenario ketiga. Kau akan buru-buru menghampiriku. Kemudian kau akan membawakan tasku yang berat sambil berlaku sesopan yang kau bisa. Tak lupa, kau juga akan bertanya apakah aku lapar, karena kau sudah menyiapkan makan malam romantis walau barangkali itu terlalu cepat untuk kita. Sebenarnya aku tidak lapar, tapi toh akhirnya akan mengiyakan saja segala yang kau tawarkan. Setidaknya itulah yang akan aku lakukan untuk menimbulkan kesan bahwa aku telah mengapresiasi caramu menyambutku. Skenario itu tidak buruk di kepalaku. Tapi, hey, apakah aku baru saja berharap ada sebuah makan malam romantis? Rasanya ini terlalu cepat. Ini gila. Tapi mungkin saja. Bukankah hal terbaik yang bisa terpikirkan adalah jangan berharap apapun dulu? Jangan. Aku meralat pendapatku sendiri. Skenario ini buruk, tapi, siapa tahu kau memang sudah menyiapkan segalanya dengan manis?

Skenario keempat. Kau memilih berdiri di dekat mobilmu. Kau melihatku yang tampak kebingungan dari jauh. Tapi kau juga terlalu malas untuk berjalan. Kau memilih untuk melambaikan tangan dari jauh. Kita akan melempar kata "Hai" dengan cara yang paling singkat. Kau akan menyuruhku masuk begitu saja ke mobilmu. Aku sudah gugup setengah mati. Sebagai orang yang tidak ingin tampak amatir dalam menyikapi pertemuan pertama, aku akan menutupinya dengan bicara sebanyak mungkin dengan berbagai topik yang sebenarnya tidak aku kuasai. Aku terlalu khawatir kau mendengar kerasnya degub jantungku. Jika ini benar-benar hal yang aku lakukan, apakah kau akan berpikir bahwa aku perempuan cerewet yang membosankan?

Aku tak sempat memikirkan soal skenario kelima ketika kau menelepon ponselku. Dimana? tanyamu saat itu.

Aku mendeskripsikan lokasiku. Kau mengarahkanku ke sana dan ke mari. Kemudian kau menutup pembicaraan sebelum aku menemukan sosokmu. Aku masih mengedarkan pandanganku ke segala arah ketika kau melambaikan tanganmu dari jauh. Dan setelahnya, terjadilah peristiwa seperti skenario keempat. Bedanya adalah, aroma mobilmu cukup menenangkan degubku. Radiomu meredam debarku. Sepertinya aku berhasil menenangkan diri sendiri. Ternyata ini lebih mudah dari yang aku duga. 

Mungkin kau tidak memperhatikan bahwa aku telah mati-matian memecah keheningan. Aku memanfaatkan keahlianku dalam berkomentar tentang segala sesuatu. Alih-alih berbicara soal kita dan panjangnya penantianmu, aku memilih untuk berkomentar tentang pesawat, bandara, jalan tol, lampu, pajak, pantai, tata kota, pariwisata, pemerintahan, baliho, dan apa saja yang sekiranya tidak membuatmu diam. 

Saat itu, aku begitu lelah dan mengantuk. Tapi di sisi lain, aku begitu bersemangat untuk berkata apa saja denganmu. 

Kau lebih banyak menghindari tatapanku saat itu. Beberapa kali kau tersenyum tanpa aku tahu sebabnya. Mungkin kau sama gugupnya denganku. Tapi aku lebih ahli dalam berpura-pura untuk tidak. 

Bahkan kau membuat meja kita bergetar dengan gerakan kakimu yang kikuk. Aku tertawa sendiri membayangkan gerakan kakimu di meja yang bagiku mirip penjahit dengan mesin tuanya yang perlu dikayuh secara manual. Saat itu aku mengingatkanmu dengan nada sedingin mungkin. Dan kau menyambutnya dengan menghisap rokok. Oh ya, bukankah kau berkata padaku sebelumnya bahwa kau bukan perokok?

Tunggu dulu, aku hampir mengingat segalanya. Semuanya. 

Sejujurnya, aku tak suka hidangan yang di sajikan di sana. Aku sudah mengatakan itu padamu. Tapi aku tak mengatakan bahwa saat itu aku suka caramu tersenyum sambil mengalihkan pandangan tiap kali ada sesuatu yang kau anggap lucu. Aku tak suka dengan kumismu yang berantakan, tapi aku suka nadamu bicara. Aku tak suka posisi dudukmu yang membungkuk saat menyetir. Tapi aku selalu suka kebersamaan kita di sana. 

Oh ya, sebenarnya aku tak suka saat kita makan siang bersama esok harinya. kau menambahkan terlalu banyak kecap serta perasan jeruk nipis di mangkuk supku, lalu dengan lancang mencicipnya. Tak pernah ada seorangpun yang pernah melakukannya. Aku tak suka ide soal semangkuk berdua dengan seseorang yang belum lama dekat. Tapi kau bilang supku sudah enak dan siap santap. Aku tak suka fakta bahwa kau benar bahwa sup itu memang lebih enak dari sebelumnya. Entah, selalu ada perasaan tak sependapat denganmu.

Aku ingin menemukan sebanyak mungkin hal yang tak aku suka darimu. Namun, setiap kali aku melakukannya, rasa manis yang kita ciptakan bersama dari kehangatanmu melintas. Mengingatnya, serasa ada yang sedang memeras jantungku. Melumat ulu hatiku. Membakar ego yang mengental di kepalaku.

Alis tebal di atas bola matamu yang mirip dengan warna mataku beserta beberapa helai perak yang bersembunyi malu-malu di rambutmu itu berhasil memaku ketergesaan gerakku. Pelan-pelan, aku terbiasa dengan tahi lalat di pipimu. Apakah aku sudah memberitahumu bahwa tahi lalat di wajah sering menjadi perumpamaan dalam puisi sufi tentang keindahan Tuhan?

Kita telah sampai sejauh ini. Belum terlalu jauh. Tapi, mari kita berandai-andai tentang perjalanan selanjutnya. 

Aku ingin bertanya padamu tentang beberapa hal. Bagaimana jika lengkung indah pelangi yang kau kejar ternyata tak berkaki dan tak pernah ada ujungnya? Mengapa kau menciptakan bayanganmu sendiri hingga kau lupa bagaimana percaya pada yang kenyataan? Bagaimana rasanya sibuk memahat khayalmu sendiri hingga lupa bahwa setiap kecantikan yang kau ciptakan dari sana menyimpan perih di setiap sisinya? 

Sepertinya kita berdua juga dihantui oleh sesuatu yang berbeda. Kita dicekam ketakutan masing-masing. Kita begitu takut melangkah karena takut terjebak pada mimpi buruk. Kita begitu khawatir tentangnya sampai lelah. Hingga kita berdua lupa caranya sadar untuk saling menguatkan.

Aku tak pandai menawarkan keindahan pada seseorang yang telah lama bersabar atas keacuhanku. Tapi, maukah kau menjadi penari api bersamaku? Aku ingin mengajakmu berdansa denganku, bagai geliat api di atas panas baraNya. Kelak, kita telah berpijar, menyala, hingga mengabu, segalanya demi terang di jalanNya.
0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

Minggu, 20 Oktober 2013

Susunan Skuad HIMAFA FC di Commweek 2013

Diposting oleh syahar banu di 10.58 Label: Publikasi Media

Seorang kompasianer Sahad Bayu hari ini menulis tentang militansi anggota U-19 yang berasal dari daerah. Untuk menambah racikan tulisannya yang renyah dan masuk headline kompasiana hari ini, Ia menambahkan diakhir tulisannya bahwa Nick Hornby pernah menulis dalam karya legendarisnya Fever Pitch (1992). “Sepakbola seperti kita mencintai wanita; muncul dengan tiba-tiba, sulit dijelaskan, tidak kritis, dan tidak mau berpikir dengan sakitnya.” Begitukah sepakbola bagi pecintanya?

Ritual jumat HIMAFA untuk futsal membuat kita belajar apa bedanya "bermain bola dengan gaya, dan bergaya dengan main bola". Tentu saja, tidak semua HIMAFA bisa menggemari futsal. Namun, harus diakui, bola lah yang mempersatukan kita di lapangan saat musim pertandingan berlangsung, Suka atau tidak dengan olahraga ini membuat kita tetap menjerit histeris dan meneriakkan dukungan kita pada para pemain futsal. Iya, karena yang bermain adalah keluatga kita sendiri.

Masih dalam rangka "Spirit Unifikasi" yang menjadi tema Metamorfosis HIMAFA tahun in, pemain futsal yang ada di dalam tim ini melibatkan mahasiswa aktif Falsafah dan Agama angkatan 2009-2013. Diharapkan anggota HIMAFA dari berbagai angkatan dalam satu tim dapat mendekatkan sesama keluarga HIMAFA tanpa sekat antara Senior dan Junior. Ingatlah, bahwa Kita adalah satu keluarga dalam HIMAFA. HIMAFA, akan terus jadi rumah pertama bagi kita semua dalam membangun peradaban. Baik dengan diskusi, menulis, kesenian, sastra, teater, nonton film, senang-senang, olahraga, dll.

Berikut ini diumumkan secara resmi skuad tim HIMAFA FC yang akan bertanding pada kompetisi Commweek Paramadina 2013. Pemilihan anggota tim yang mengikuti kompetisi kali ini dipilih berdasarkan kehadirannya di setiap sesi latihan setiap Jumat malam dan kontribusinya pada pertandingan yang lalu.

1. Ayyub (Captain) 2011
2. Hammam (Keeper) 2011
3. Faiq (Keeper 2) 2012
4. Taufik 2009
5. Awan 2010
6. Agung Prasetyo 2011
7. Ihwan 2011
8. Mulki 2011
9. Amar 2013
10. Raiz 2013
11. Mustopah 2013
12. Pian 2013

Kali ini, aku dibantu 2 orang sebagai Official resmi HIMAFA FC. Official ini bukan berarti sebagai manager tim selanjutnya. Namun, official hanya berlaku dalam kompetisi commweek ini. Official itu adalah Novie Mruf (2012) dan Sekar Dewina Harsari (2013)

Berdasarkan Technical meeting yang sabtu lalu diadakan oleh penyelenggara, HIMAFA FC akan bertanding melawan tim Young Boys dari Prodi Ilmu Komunikasi pada Selasa, 22 Oktober 2013 pukul 13.00 wib. Diharapkan kedatangan skuad HIMAFA setengah jam sebelum pertandingan. Jika ada UTS, PEPT atau kegiatan perkuiahan lainnya, maka harap segera hubungi para official atau manager via SMS. Untuk kostum pemain, akan disediakan sebelum pertandingan berlangsung berupa Jersey dan kaos kaki. Khusus untuk Keeper disediakan sarung tangan juga.

Demikian pengumuman ini dibuat. Semoga kemenangan kita segera mengaktual! Mohon kedatangan teman2 HIMAFA yang bukan tim untuk jadi suporter juga.

Salam Olahraga,
Syahar Banu (Manager HIMAFA FC yang hampir demisioner dan sedang mencari manager baru)
0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

Jumat, 21 September 2012

Di Balik Layar Film Innocence

Diposting oleh syahar banu di 13.09 Label: Dosen, Publikasi Media

Dimuat Koran Tempo, Kamis, 21 September 2012
Oleh Novriantoni Kahar*

Komentar Twitter paling mengena tentang hiruk pikuk film Innocence of Muslims adalah yang menyebutnya trailer belaka. Film sesungguhnya justru kejar tayang sejenak setelah trailer itu. Kini ia tayang di Libya, Mesir, Tunisia, Yaman, Sudan, Pakistan, Afganistan, dan bahkan Indonesia. Betapa mudah orang-orang tak bertanggungjawab mempermainkan temperamen umat Islam lewat sebuah karya yang nista! Karena itu, saya sepakat dengan Mustafa Akyol (Hurriyet, 15 September): yang diperlukan umat Islam dalam momen-momen konyol ini adalah mengontrol kemarahan (anger management) dan respons yang beradab.

Dasar-dasar respons yang beradab dalam menghadapi provokasi keagamaan sesungguhnya sangat kuat dalam tradisi Islam perdana. Dalam Quran, banyak sekali ayat yang menyarankan orang Islam untuk merespons provokasi bodoh dengan cara yang bermartabat. Untuk menyebut sebagian, salah satu ciri hamba yang dikasihi Tuhan (ibad ar-Rahman) menurut al-Quran adalah: “… jika mereka diprovokasi orang-orang dungu, mereka cukup berkata, peace!” (Qs. Al-Furqan: 63).

Rekam jejak Nabi Muhammad sendiri menunjukkan dirinya bukan sosok gampang tersinggung dan mudah terhina. Penjagaan citra (sum’ah) dan keredibilitas (mishdaqiyyah) agama lebih dipentingkan Nabi semasa hidupnya. Tatkala sahabat Umar bin Khattab mengusulkan pelenyapan Abdullah bin Ubay, tokoh bermuka-dua yang tak henti-henti memprovokasi permusuhan antar-golongan di Madinah, Nabi menolak. Beliau tak ingin dikenal sebagai sosok haus darah dan Islam justru dikenal lewat provokasi musuh ketimbang keelokan perilaku Nabi dan penganutnya. Menghadapi provokasi, Nabi memilih lapang dada tinimbang jatuh-binasa kredibilitas agama; sesuatu yang diinginkan musuh-musuhnya.

Tulisan ini tak ingin berkhutbah tentang respons yang beradab terhadap film murahan yang menghina Nabi junjungan umat Islam itu. Yang hendak ditelusuri di sini justru gejolak apa yang berada di balik layar sehingga melahirkan kekacauan, merenggut nyawa duta besar Amerika, dan puluhan orang tak tahu apa-apa.

Kebangkitan Salafisme?

Sampai kini belum jelas siapa pembunuh Christopher Stevens, Duta Besar Amerika di konsulat Amerika di Benghazi, Libya. Beberapa dugaan menunjuk Brigade Anshar al-Shariah (pasukan pembela syariat), kubu kecil Salafi-jihadi yang berada di balik aksi ini. Ini sungguh tragedi dan bukan cara berterima kasih terbaik yang diinginkan rakyat Libya kepada Amerika. Survei Gallup membuktikan, Libya kini adalah negara Arab yang paling tak bermasalah dengan Amerika. Mayoritas rakyat Libya (54%) dalam survei Maret dan April 2012 mendukung kepemimpinan Amerika untuk menuntun masa transisi demokrasi di Libya (www.gallup.com). Sentimen positif ini tak lepas dari dukungan Amerika lewat NATO bagi perjuangan rakyat Libya melawan otoritarianisme rezim Qhadafi.

“Anomali Libya” ini tak berakhir di situ saja. Ketika Tunisia, Mesir, Maroko, dan Yordania membawa kaum Islamis ke tampuk kekuasaan dalam Musim Semi Arab ini, pemilu Libya justru dimenangkan koalisi nasionalis. Libya kini sedang merambah jalan demokrasi. Hanya saja, soal keamanan belum pulih betul dan kontrol kekuasaan belum sepenuhnya di tangan pemenang pemilu. Karena itu, kevakuman ini sangat mudah diisi oleh manuver-manuver kalangan manapun, termasuk kelompok ultra-konservatif Salafi yang semakin mengemuka. Dalam beberapa bulan terakhir, aksi-aksi vigilante dan Talibanisme semakin intensif dilakukan mereka demi menguji otoritas penguasa sementara.

Inilah yang disebut para pengamat sebagai “momentum Salafisme” (the Salafi moment). Yang dimaksud momentum Salafisme di sini adalah upaya kalangan ultra-konservatif Islam untuk tampil sebagai pemain utama dalam kancah perpolitikan baru Timur Tengah setelah terbukti nothing Islamic dari Musim Semi Arab ini. Salah satu caranya adalah dengan menguji stabilitas dan menekan perpolitikan ke jalur radikalisasi.

Di Libya, kaum Salafi menekan otoritas pemerintahan sementara dengan aksi-aksi penghancuran brutal terhadap komplek-komplek perkuburan sufi yang mereka anggap tidak Islami. Di Tunisia, kaum Salafi aktif  melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat yang mereka tuding maksiat, bahkan mengutuk pengiriman atlet perempuan ke perhelatan Olimpiade. Berlarut-larutnya krisis Suriah, bagi para pengamat juga akan semakin menguatkan konsilidasi Salafi dalam mengisi kemungkinan Suriah pasca-Assad. Dunia tampak kurang waspada, kini kalangan Salafi makin menguat di berbagai belahan dunia, dari Mali ke Libanon, sejak Kashmir ke kawasan Kaukasus Utara Rusia (Foreign Policy, 12 September), bahkan melebihi pengaruh Ikhwani.

Karena itu, dalam Sheikhs and Politicians: Inside the New Egyptian Salafism (Juni 2012), Stéphane Lacroix menyebut kubu Salafi-politik yang berhasil membuat terobosan 25% dalam Pemilu di Mesir, kini aktif melakukan konsolidasi kekuasaan di kancah perpolitikan baru Timur Tengah dengan sokongan Arab Saudi. Perkembangan ini mau tak mau akan menghasilkan benturan-benturan, tidak hanya antara kaum Islamis dengan non-Islamis, tapi yang lebih sengit lagi adalah antara kaum Islamis yang lebih moderat dengan yang radikal-fundamentalistis (clash within Islamists). Lalu bagaimana menjelaskan kekacauan Innocence di Negeri Piramida?

Sebagai Pengalih

Dalam hal manipulasi isu-isu keagamaan untuk kepentingan politik, kelakuan rezim sekuler dan Islamis sesungguhnya relatif sama. Jytte Klausen dalam Egypt Fans the Flames menunjukkan, manuver rezim Ikhwani dalam kasus film Innocence kini lebih kurang sama dengan sikap rezim Mubarak terhadap kartun Denmark 6 tahun lalu. Keduanya sama-sama piawai melakukan provokasi protes keagamaan, antara lain sebagai upaya pengalihan isu (protest as distraction) dan upaya untuk mengonsolidasi kekuasaan (Foreign Affair, 13 September).

Tahun 2006, rezim Mubarak di balik layar memprovokasi protes kubu Islamis terhadap kartun surat kabar Denmark, Jyllands-Posten. Tujuan kala itu: menunjukkan kepada Amerika dan dunia bahwa marabahaya Islamisme akan mendekat di depan mata bila tekanan demokratisasi semakin meningkat. Sekalipun paling aktif melakukan protes kala itu, kubu Ikhwani sadar juga, kekacauan kartun tiada lain adalah cara rezim untuk mengalihkan perhatian dunia dari tuntutan reformasi politik Mesir sesungguhnya.

Kini setelah berkuasa, anehnya Ikhwani-lah yang paling awal menyerukan protes nasional terhadap Kedutaan Amerika di Kairo. Entah untuk tujuan apa. Namun script Mubarak kini tak mudah lagi dimainkan karena panggung telah berubah. Setelah di Kedutaan Amerika Kairo berkibar bendera al-Qaidah, Duta Besar Amerika terbunuh di Libya, dan pernyataan keras Obama bahwa Mesir bukanlah sekutu Amerika, sikap Ikhwani tampak berubah. Ditambah kecenderungan kubu Salafi untuk menarik radikalisasi ke stadium yang lebih tinggi, jelas ini bukan pertaruhan yang mudah bagi perpolitikan Ikhwani. Kaum Salafi Mesir yang tergabung dalam Koalisi Partai Cahaya, siap sedia menunjukkan bahwa mereka sangat vokal dan jauh lebih radikal dalam menyuarakan kepentingan Islam dibandingkan Ikhwani.

Kaum ultra-konservatif Salafi—sekalipun tampak tak kunjung move on ke dunia yang lebih beradab—dalam situasi-situasi tertentu mampu menunjukkan kepada dunia bahwa mereka adalah pemain politik yang piawai juga. Instabilitas dan kekacauan Timur Tengah adalah air keruh yang akan memanjangkan nafas dan menguatkan pengaruh mereka.

)*Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina


0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook

Pendidikan dan Kebudayaan

Diposting oleh syahar banu di 13.01 Label: Dosen, Publikasi Media

Dimuat di Harian KOMPAS Sabtu, 07 April 2012

Oleh Mohammad Abduhzen

Kembalinya ”kebudayaan” pada Kementerian Pendidikan Nasional telah menegaskan lagi bahwa pendidikan adalah jalan utama kebudayaan. Melalui pendidikan, seseorang mengalami proses pembudayaan dan lewat pendidikan pula sebuah bangsa mewujudkan kebudayaan seperti yang diinginkannya.

Disebut kebudayaan yang diinginkan karena kebudayaan bukan sekadar koleksi artefak dan tradisi untuk dilestarikan. Lebih dari itu, kebudayaan adalah respons manusia terhadap berbagai tantangan, kemudian memberi wujud baru pada pola-pola yang ada.

Pendidikan sebagai jalan kebudayaan tidak berarti bahwa dalam kurikulum persekolahan hadir mata pelajaran kebudayaan; atau pada nama lembaga pendidikan tertentu harus tercantum kata budaya/kebudayaan. Eksistensi pendidikan dalam keseluruhannya adalah, dan harus dirancang sebagai, proses pembudayaan. Dengan demikian, pendidikan niscaya merupakan bagian dari strategi pembangunan kebudayaan bangsa.

Meski konsep kebudayaan nasional belum begitu terang, menyaksikan situasi kebangsaan kita dewasa ini dengan berbagai kecenderungan masa depan yang ada, penyelenggaraan sistem pendidikan nasional harus difungsikan pertama-tama sebagai upaya penyadaran tentang status manusia: makhluk berkebudayaan.

Sejak lama berbagai agama mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk mulia, bahkan manusia dianggap sebagai wakil/citra Tuhan di muka bumi (khalifah fil ardl). Pada diri manusia terdapat banyak potensi—di antaranya akal kreatif dan kehendak bebas (free will) yang sejatinya hanya milik Tuhan—yang memungkinkannya membentuk kebudayaan dan karena itu ia berbeda dengan makhluk yang lain.

Tidak seperti tumbuhan dan hewan, kehadiran manusia di dunia ini bukan untuk sekadar bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya. Manusia datang untuk mengubah lingkungan agar sesuai dengan kebutuhan dan martabat dirinya. Maka, manusia pun mencipta.

Karya menentukan muruah manusia. Apakah ia berkontribusi merawat dan memuliakan kehidupan atau sebaliknya merusak dan menghancurkannya.

Apabila dia memilih peran destruktif, kemanusiaannya akan jatuh ke derajat yang lebih rendah daripada kawanan hewan karena daya-daya yang dimiliki manusia dapat melahirkan kejahatan yang bersifat kreatif.

Para pelajar perlu disadarkan bahwa menjadi manusia artinya beramal, yaitu berkarya untuk kemaslahatan bersama.

Kedua, pendidikan sebagai proses pembudayaan harus menumbuhkan identitas nasional. Substansi dari identitas nasional adalah jawaban atas pertanyaan tentang siapa kita sebagai orang dan bangsa Indonesia serta apa yang membedakannya dengan ”dia” atau ”mereka” yang lain, yang bukan Indonesia.

Makna kebangsaan Indonesia

Kebangsaan Indonesia, menurut Franz Magnis-Suseno (dalam Yudi Latif, 2011), memang bukan sesuatu yang terbentuk secara alami berdasarkan adanya satu bahasa dan satu budaya yang lalu terungkap dalam kesatuan organisatoris negara nasional. Kebangsaan Indonesia yang kita saksikan pada abad ke-21 ini adalah hasil sebuah proses nation building terus-menerus yang kalau tidak dipelihara akan pudar.

Pudarnya semangat nasionalisme sangat terasa dewasa ini, ditandai dengan semakin kaburnya identitas kebangsaan kita. Setiap mendengar kata ”Indonesia” atau mengatakan ”saya orang Indonesia”, nyaris tidak ada suasana esoteris yang muncul sebagai jati diri yang patut dibanggakan.

Terkadang melintas kenangan tentang keramahan, kesalehan, kebinekaan, kekayaan alam, Pancasila, dan heroisme, tetapi ingatan itu segera didekonstruksi oleh beragam fakta yang menegasikannya sehingga yang tersisa hanyalah kehampaan, juga keputusasaan. Kenyataan ini diperparah oleh Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) yang menyampaikan Pancasila dan UUD 1945 hanya sebatas dasar administrasi pemerintahan, bukan sebagai nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa.

Tantangan bagi dunia pendidikan adalah bagaimana menunjukkan identitas dan menumbuhkan kebanggaan nasional di tengah beragam paradoks yang ada: paradoks antara negeri kaya dan rakyat yang menderita; antara nilai-nilai ideal Pancasila dan praktik neoliberalisme yang menggurita; antara keramahan, kebinekaan dengan keberingasan, dan konflik sosial yang marak; antara kesalehan, keheroikan dengan kemunafikan, korupsi, dan keculasan para pemimpin.

Reformasi pendidikan

Dunia pendidikan kita memerlukan konsepsi baru tentang identitas nasional untuk mengisi dan mengganti makna ”Indonesia” yang kini usang. Namun, mungkinkah kita memiliki konsepsi yang lebih baik sementara kenyataan dibiarkan buruk?

Ketiga, pendidikan harus diarahkan pada pembentukan pola pikir (mindset) bangsa. Serupa dengan Malaysia dahulu, problem terpenting dan tersulit bagi kemajuan bangsa Indonesia sekarang ini adalah pola pikir. Struktur berpikir bangsa ini centang-perenang seperti tampak pada sikap menerabas, yaitu menghendaki hasil segera tanpa mengindahkan prasyarat, prosedur, dan kerja keras. Kekacauan berpikir juga tergambar dari kebijakan pemerintah yang sering kali melantur dan tak realistis.

”Modernisasi pikiran”, dengan mengubah terutama cara pandang terhadap kerja, itulah yang dilakukan oleh Mahathir Mohamad terhadap bangsanya pada awal 1970-an. Melalui kebijakan ekonomi dan pendidikan dalam gerakan ”Melayu Baru”, ia berhasil membangun mentalitas baru sehingga kinerja menjadi sebuah sistem nilai yang dianut oleh setiap anggota komunitas. Di antara buah yang penting dari perubahan tersebut adalah meningkatnya jumlah karya ilmiah para intelektual Malaysia.

Bangsa Indonesia dapat maju hanya jika kita mengubah pola pikir secara tepat. Selain perbaikan cara pandang terhadap kerja, mentalitas kita juga harus segera disembuhkan dari bilur-bilur keterjajahan. Fantasi keterjajahan telah membiasakan sikap tidak bertanggung jawab serta mendorong anak-anak negeri ini bangga menggerogoti uang negara.

Masalahnya, pendidikan yang kita harapkan dapat membentuk pola pikir merdeka justru kelanjutan dari apa yang didesain pemerintah kolonial untuk memperkukuh kesadaran kita sebagai inlander.

Kembalinya ”kebudayaan” pada Kementerian Pendidikan Nasional seyogianya menjadi momentum untuk mereformasi pendidikan kita secara total, fundamental, dan gradual sehingga benar-benar menjadi jalan lurus memperadabkan bangsa ini.

Mohammad Abduhzen,  Direktur Eksekutif Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina, Jakarta; Ketua Litbang PB PGRI, Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina.



0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Bagikan ke X Berbagi ke Facebook
Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

Terindrakan

Labels

  • cerita (1)
  • Dosen (4)
  • Etika (2)
  • Filsafat Ilmu (1)
  • Publikasi Media (5)
  • Tasawuf (1)
  • Umum (1)

Para Intelektual

  • Anggaranu
    ^!!^ Memphis 2013 Streaming Websites
    5 tahun yang lalu
  • Syaharbanu
    Bagaimana Mungkin
    5 tahun yang lalu
  • Dida Sobat
    Cinta Lakshmi untuk Gayatri
    6 tahun yang lalu
  • MIMPI DI UJUNG PAGI
    Aku ingin menikah, tapi bukan dengan Kamu
    8 tahun yang lalu
  • Serat Jingga~~
    Rindu yang Basah
    8 tahun yang lalu
  • Hidayat Taufik
    "Memoria Indonesia Bergerak"
    11 tahun yang lalu
  • Deep Sight
    ah Cafe PGC
    13 tahun yang lalu
  • Vision de Monde
    Malam Menjelang Fase Baru Anak Peruntungan
    13 tahun yang lalu
  • philosophy and the city

Followers

Blog Archive

  • ▼  2015 (1)
    • ▼  Oktober (1)
      • Penari Api
  • ►  2013 (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ►  2012 (9)
    • ►  September (4)
    • ►  Mei (5)
 

© 2010 My Web Blog
designed by DT Website Templates | Bloggerized by Agus Ramadhani | Zoomtemplate.com